TEKNOLOGI BUDIDAYA LOBSTER BERBASIS IOT YANG RAMAH LINGKUNGAN

HENDRA

JEMBER, JAWA TIMUR

Perekonomian nelayan menjadi lebih baik, lobster tak punah, dan laut tidak rusak akibat penangkapan lobster yang menghancurkan karang.

Hendra bersama tim membawa alat pendeteksi kadar air yang akan dipasangkan di tambak lobster milik nelayan di Kab. Probolinggo, Jawa Timur. 

PERUBAHAN regulasi yang seyogianya menuju kebaikan bersama ada kalanya menimbulkan efek yang tidak diharapkan. Salah satunya adalah perubahan peraturan mengenai kapal asing yang tak boleh lagi membeli ikan kerapu langsung ke keramba nelayan pada 2015. Hal ini membuat nelayan kerapu di Situbondo, Jawa Timur, kehilangan sumber penghasilan.

Keramba di lautan kosong melompong, jauh berbeda dengan masa keemasan budi daya ikan kerapu sebelum perubahan peraturan tahun 2015 diberlakukan. Pada waktu itu, nelayan pembudi daya kerapu setidaknya bisa mendapatkan uang Rp 5 juta setiap bulan.

Fenomena ini membuat miris Hendra yang kala itu mahasiswa di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Brawijaya. Di sisi lain, Hendra kemudian melihat potensi lobster di Indonesia. Selain lobster dewasa, benih lobster menjadi buruan para nelayan. Perburuan dilakukan secara legal maupun ilegal. Bahkan, benur lobster dari Indonesia banyak yang diekspor secara ilegal ke luar negeri, terutama ke Vietnam. 

Penangkapan secara gila-gilaan ini berdampak buruk terhadap nelayan pencari lobster karena hasil tangkapan mereka menjadi turun drastis dan pendapatannya berkurang .

Hendra ingin menyelesaikan kedua masalah tersebut, sehingga pada 2015, ia memulai kuliah kerja nyata bersama satu rekan kuliahnya dan memilih Situbondo sebagai daerah penelitian. Hendra yang juga merupakan anak dari nelayan ini mengumpulkan data berapa banyak nelayan yang kehilangan pekerjaan akibat perubahan regulasi. 

Selain mengumpulkan data potensi lobster, ia juga mencari informasi berapa banyak nelayan yang ditangkap polisi akibat menangkap bayi lobster. Di daerah tersebut, nelayan dituduh menjadi sindikat penyedia bayi lobster untuk diekspor secara ilegal ke luar Indonesia.

Sambil mengumpulkan data, Hendra dan rekannya juga mengukur keadaan air, dan suhu di sana. Dua hal tersebut ia lakukan untuk mengkalkulasikan tempat yang layak dan cocok untuk lobster berkembang biak. Selama dua tahun penelitian, Hendra dan rekannya bisa membuat sebuah kotak sensor berbasis Internet of Things (IOT) untuk mengontrol kualitas air. 

Penangkapan secara gila-gilaan ini berdampak buruk terhadap nelayan pencari lobster karena hasil tangkapan mereka menjadi turun drastis dan pendapatannya berkurang.

Kotak sensor itu ditaruh di keramba, lalu disambungkan ke aplikasi Lobstech di komputer milik Hendra. Para nelayan bisa memantau kondisi air keramba melalui aplikasi di telepon genggam. Hendra juga sudah mendaftarkan paten untuk teknologi yang dibuatnya.

Awalnya, Hendra kesulitan memasarkan Lobstech. Para nelayan masih berpikiran secara tradisional dan menganggap budidaya lobster tak bisa berjalan. Namun, Hendra tak menyerah dan tetap mendekati nelayan. Hendra menawarkan skema bagi hasil dengan cara memberikan terlebih dahulu benih lobster kepada para nelayan untuk dikembangbiakkan dengan Lobstech.

Adapun skema bagi hasilnya adalah, jika sudah panen, para nelayan hanya mengembalikan lobster sesuai dengan pemberian awal. Misalnya, jika Hendra memberikan 50 kilogram benih lobster, saat panen nanti nelayan hanya mengembalikan 50 kilogram lobster dewasa. Saat panen, nelayan bebas menjualnya melalui Hendra atau dijual sendiri. Hendra juga tidak menerapkan biaya untuk teknologinya kepada para nelayan. Biaya pembuatan alat ini sekitar Rp 2,5 juta. 

Seiring berjalannya waktu, upaya Hendra ini menunjukkan hasil positif. Dengan teknologi Lobstech berbasis IOT, produksi para nelayan bisa meningkat 50 persen. Waktu pembesaran lobster pun bisa dihemat setengahnya, menjadi tiga bulan untuk sekali panen. Beratnya pun bertambah, karena dengan sistem itu, berat 100 gram bisa didapat dalam waktu satu bulan.

Teknologi Lobstech mempercepat penambahan berat lobster, pembenihan lobster lebih berhasil, dan menekan biaya pakan lobster serta mengurangi limbah perikanan.

Teknologi Lobstech sudah digunakan di sejumlah daerah. Tercatat 20 keramba darat dan 80 keramba laut di Kabupaten Situbondo, 50 keramba di Kabupaten Pacitan, 40 keramba di Kabupaten Jember, 40 keramba di Lombok, Nusa Tenggara Barat. Total panen pun bisa mencapai 1,5 ton per 4-6 bulan. Angka itu tergantung dari ukuran benih lobster. Hendra pun kini sudah punya 15 pegawai.

Dalam 2-3 tahun mendatang, diharapkan teknologi Lobstech bisa dipakai semua pembudi daya di Kabupaten Situbondo, Jember, dan Pacitan. Hendra ingin ada 3.000 keramba terinstal teknologi IOT di Situbondo. 

Untuk jangka panjang, Hendra ingin teknologinya dipakai oleh nelayan maupun pembudi daya lobster di seluruh Indonesia. Sistem teknologinya akan ditingkatkan dan bisa disesuaikan dengan perairan laut di seluruh Indonesia. Kini, Hendra sedang melakukan penjajakan dengan sebuah perusahaan dari Jerman untuk mengembangkan sensor yang tingkat akurasinya lebih tinggi.

Dengan Lobstech, lobster bisa dikembangbiakkan serta dibesarkan secara cepat dengan teknologi yang ramah lingkungan. Perekonomian nelayan menjadi lebih baik, lobster tak punah, dan laut tidak rusak akibat penangkapan lobster yang menghancurkan karang.

Leave a Comment

Your email address will not be published.

Start typing and press Enter to search