KAMPUNG JAHIT PEMBERDAYAAN IBU RUMAH TANGGA

ELSA MAHARANI

PADANG, SUMATERA BARAT

Kampung Elsa bukan kampung yang sudah mapan secara ekonomi. Bahkan, dia melihat kampungnya butuh terobosan untuk kebangkitan dalam hal ekonomi.

JATUH-BANGUN menjalankan usaha sudah dirasakan Elsa Maharani sejak masih duduk di bangku SMA. Baginya, untung atau buntung adalah bagian dari usaha yang dijalaninya di sudut kampung yang ada di Kota Padang, Sumatera Barat. Dari hasil jerih payahnya, lulusan sarjana kesehatan masyarakat Universitas Andalas ini tidak menggantungkan biaya sekolah dan perkuliahan kepada orang tua. 

Berbekal pengalaman berbisnis sejak usia belia, Elsa ingin membantu memberdayakan masyarakat berekonomi lemah yang ada di sekitar tempat tinggalnya, khususnya para ibu rumah tangga. Hal ini yang melatarbelakangi ia memproduksi hijab dengan merek sendiri: Maharrani Hijab. Adapun moto Maharrani Hijab adalah “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia” (HR. Ahmad, ath-Thabrani, ad-Daruqutni). 

Elsa Maharani merintis usaha Maharrani Hijab pada 2016. Maharrani Hijab memberdayakan masyarakat kampungnya terutama para ibu rumah tangga yang semula tidak memiliki penghasilan. Proses pengerjaan menjahit atau membuat pola pun bisa dikerjakan di rumah masing-masing. Alhasil, ibu-ibu rumah tangga ini bisa bekerja di Maharrani Hijab tanpa harus meninggalkan kewajibannya sebagai ibu rumah tangga.

Para ibu rumah tangga ini sebelumnya hanya berprofesi sebagai petani, pemecah batu kali, dan asisten rumah tangga. Kini mereka mempunyai penghasilan sekitar Rp 2,5 juta per bulan. Angka ini di atas upah minimum regional Kota Padang.

Kendala terbesar yang dialami Elsa dalam menjalankan usaha ini adalah sulitnya meyakinkan warga kampung untuk turut berkecimpung dalam bisnis miliknya. Keraguan warga kampung menjadi tantangan untuk Elsa. Dia meyakinkan satu per satu warga kampung bahwa usaha ini akan lebih menjanjikan daripada pekerjaan mereka sebelumnya.

Hingga kemudian pada 2020 ada 15 ibu rumah tangga yang diberdayakan menjadi mitra tenaga produksi dan 50 orang telah bergabung dengan Maharrani Hijab sebagai reseller dan agen. Kini Maharrani Hijab telah memiliki sekitar 50 mitra penjahit dan sekitar 1.200 mitra penjualan sebagai member, reseller, dan agen yang tersebar dari Aceh hingga Papua, bahkan ada di Hong kong dan Qatar. 

Apresiasi yang diterima dari SATU Indonesia Awards pun dipakainya untuk menambah modal dan membangun workshop yang sekarang menampung lima orang penjahit. “Dulu full jahit di rumah semua, sekarang ada yang jahit di workshop. Kemudian ada karyawan khusus bagian cutting dan quality control. Tiap penjahit menerima Rp 20 ribu sampai Rp 25 ribu per satu potong jahitan,” ungkapnya.

Kalau tidak memenuhi kualitas akan dikembalikan untuk diperbaiki sampai sesuai standar. Ada sanksi kalau lewat deadline pengumpulan. Sanksi bisa sampai diputus kemitraan.

Selain memproduksi hijab, Elsa juga membuat gamis, mukena, sarimbit keluarga, pashmina instan, koko untuk ayah dan anak. Berbeda dengan produk lain, hijab dan mukena buatan Elsa selalu membawa ciri khas motif atau kain Minang dalam bentuk yang lebih modern. Produk dari Maharrani Hijab pun memudahkan para wanita untuk menyusui dan berwudhu. Sekarang, sebagai upaya perluasan pangsa pasar, Maharrani Hijab juga mulai memproduksi pakaian ready to wear untuk pekerja laki-laki.

“Rencana ke depan ingin membuat duplikasi kampung jahit di beberapa kota. Semacam sentra jahit di daerah Sumatera. Mudah-mudahan bisa menggandeng 1.000 mitra dan memberdayakan lebih banyak orang,” harapnya.

PERHATIAN SOSIAL DAN BERKAH PANDEMI

Tak hanya fokus berbisnis, Elsa juga ikut dalam kegiatan sosial bersama warga binaan Lembaga Pemasyarakatan Muaro. Untuk tas bungkus produk Maharrani Hijab, Elsa memberdayakan narapidana di lembaga pemasyarakatan setempat.

Kegiatan sosial lainnya berupa pendirian Rumah Quran Serambi Minang yang saat ini telah menampung lebih dari 200 santri (tidak mondok) mulai dari anak-anak sampai mahasiswa, dan kegiatan lainnya.

Selama masa pandemi, Elsa juga bekerja sama dengan mahasiswa Tata Busana di kotanya. Perca yang tak terpakai dia berikan kepada mahasiswa untuk dibikin masker. Dia kemudian membeli masker itu dan dibagi-bagikan ke masyarakat sekitar bekerja sama juga dengan Universitas Andalas.

Masa pandemi juga mendatangkan cobaan sekaligus hikmah tersendiri. “Sebenarnya kami akan me-launching brand baru tapi harus mundur karena pandemi. Namun, di masa pandemi ini penjualan kami meningkat hingga tiga kali lipat. Kami juga berhasil menjalin kerja sama dengan penjahit-penjahit yang kehilangan pekerjaan akibat pandemi,” papar Elsa.

Elsa berharap usahanya bisa terus berkembang sehingga semakin banyak warga yang diberdayakan lewat bisnisnya. Elsa berkomitmen tinggi untuk terus melanjutkan usaha ini. Jika ia tidak ada, warga kampung sekitar yang akan melanjutkan usahanya. 

“Rencana ke depan ingin membuat duplikasi kampung jahit di beberapa kota. Semacam sentra jahit di daerah Sumatera. Mudah-mudahan bisa menggandeng 1.000 mitra dan memberdayakan lebih banyak orang,” harapnya.

Leave a Comment

Your email address will not be published.

Start typing and press Enter to search