MENDUNIA LEWAT SEPATU KULIT CEKER AYAM

NURMAN FARIEKA

BANDUNG, JAWA BARAT

Kulit ceker ayam memiliki segudang keunggulan untuk dijadikan bahan baku sepatu, dari murah, eksotis, hingga menjaga kelestarian ekosistem.

DI BANYAK negara, ceker ayam adalah limbah. Di Indonesia pun sebenarnya demikian, meski banyak juga orang yang mengolahnya menjadi makanan seperti soto ceker atau ceker pedas. Namun tidak demikian dengan Nurman Farieka Ramdhany. Dia membeli ceker ayam tidak untuk diolah menjadi masakan, melainkan sepatu.

Nurman memulai kegiatan wirausaha dengan menjual dompetnya sendiri ke temannya. Hasilnya ia jadikan modal untuk berdagang aksesori seperti gelang, dan kalung. Sayangnya, bisnis ini tak bertahan lama. Begitu pula usaha-usaha lainnya. Dalam setahun, setidaknya empat usaha yang dirintisnya bangkrut dengan kerugian mencapai ratusan juta rupiah.

Namun, tidak ada kata berhenti dalam kamus Nurman. Lelaki Bandung ini bergeser ke bisnis sepatu kanvas dengan merek Hirka. Dalam bahasa Turki, hırka berarti dicintai. Nurman ingin agar produknya selalu melekat di hati konsumen. Masalahnya, persaingan harga di industri sepatu sangatlah ketat. Bukan hanya buatan produsen lokal, flat shoes impor juga dijual dengan harga yang terbilang sangat murah, di kisaran Rp 60–80 ribu.

Pasarnya telah merambah ke konsumen luar negeri, seperti Malaysia, Singapura, Hong Kong, Brazil, Prancis, Inggris, dan Turki. Sepatunya dipasarkan dengan harga Rp 400.000 hingga Rp 7 juta per pasang.

Nurman  sedang mengecek proses pembuatan sepatu ceker ayam.

Saat menghadapi tantangan tersebut, Nurman menemukan jurnal milik sang ayah, Fatah Fathurochman, yang pernah berkuliah di Politeknik Akademi Teknologi Kulit Yogyakarta. Karya ilmiah yang dibuat pada 1995 ini berisi penelitian tentang kulit, salah satunya kulit kaki ayam. Dari sinilah ia mendapatkan ide untuk membuat sepatu berbahan kulit ceker ayam.

Selain unik, ceker ayam adalah bahan baku yang amat murah karena dianggap sebagai limbah di rumah pemotongan ayam. Di samping itu, teksturnya tergolong mirip dengan kulit ular dan buaya. Melihat keunggulan tersebut, tekadnya untuk membuat sepatu dari kulit kaki ayam semakin kuat. Namun, justru di situlah masalah terbesarnya.

Sepanjang 2015, Nurman menghabiskan hari-harinya untuk melakukan riset. Ternyata, kulit ceker ayam terlalu rapuh dan mudah robek. Setelah riset mengenai pengolahan bahan baku membuahkan hasil, barulah Nurman beranjak ke riset produk, yaitu pembuatan sampel sepatu. Proses ini tak kalah sulit karena belum pernah ada riset tentang sepatu kulit ceker ayam. Sesudah gagal berkali-kali, akhirnya Nurman meluncurkan produknya ke pasaran pada 2017. Ia sempat ikut pameran kerajinan terbesar di Indonesia, INACRAFT.

Berkat kerja keras dari pameran ke pameran, sepatu buatannya diterima pasar. Publik menyukainya karena keunikan dan tampilannya yang eksotis. Selain itu, sepatu Hirka juga ikut andil dalam menjaga kelestarian reptil sehingga ekosistem alam liar tetap terjaga. Apalagi, Hirka juga lekat dengan program daur ulang limbah.

Pasarnya telah merambah ke konsumen luar negeri, seperti Malaysia, Singapura, Hong Kong, Brazil, Prancis, Inggris, dan Turki. Sepatunya dipasarkan dengan harga Rp 400.000 hingga Rp 7 juta per pasang.

Nurman   (tengah) berfoto bersama karyawannya.

KONSEP DAN STRATEGI

Setelah mendapatkan sejumlah ekspos pada 2019, salah satunya penghargaan SATU Indonesia Awards, Hirka semakin mantap melangkah. Nurman sudah memperoleh paten untuk produknya. Ia pun segera merancang konsep dalam pembuatan produk-produknya. “Tidak sekadar membuat , tapi ingin memberikan nyawa pada produk yang kami ciptakan,” terang Nurman.

Alhasil, ada enam jenis koleksi (article) sepatu Hirka, yakni Jokka, Tafiaro, Renjana, Balawan, Ekajati, dan Astakona. Masing-masing diambil dari bahasa di Nusantara, seperti bahasa Bugis, Minang, Papua, dan Sanskerta. Maknanya pun berbeda-beda, disesuaikan dengan karakter dan tampilan dari masing-masing sepatu.

Kandungan makna yang tersemat di tiap sepatu membuat Hirka semakin digandrungi konsumen. Apalagi salah satu targetnya adalah pasar luar negeri, yang tentu tertarik dengan hal-hal etnik, orisinal, dan filosofis seperti ini. 

Pada hari-hari normal, Hirka bisa memproduksi 200 pasang sepatu per bulan. Namun, pada masa pandemi, mereka membatasi produksi hingga 100 pasang per bulan agar tidak terjadi dead stock atau stok mati akibat penurunan daya beli. Ditambah lagi, pemesanan dari luar negeri juga berhenti karena calon konsumen khawatir dengan adanya lockdown, yang menghambat distribusi barang.

Sementara itu, untuk merawat eksistensi merek, Nurman berkolaborasi dengan berbagai produk lainnya. Salah satu kolaborasi terbesar dilakukan dengan restoran KFC, yang diberi nama Thousand More. Produk ini mengusung semangat untuk melakukan ribuan langkah lagi menuju mimpi-mimpi yang tertunda, khususnya karena pandemi.

Leave a Comment

Your email address will not be published.

Start typing and press Enter to search