MEMBANGUN INDONESIA YANG TOLERAN DARI PELOSOK

AI NURHIDAYAT

PANGANDARAN, JAWA BARAT

Tidak menggunakan sistem pembelajaran seperti di sekolah pada umumnya, SMK Bakti Karya Parigi mendidik para siswa untuk menjadi agen perdamaian di tengah keberagaman.

SEBAGAI aktivis pendidikan, perasaan buruk masa kecil masih terkenang di benak Ai Nurhidayat. Laki-laki kelahiran Ciamis, Jawa Barat, ini tak bisa melupakan begitu saja ingatan bahwa dia pernah sangat membenci orang-orang nonmuslim. Dia tak tahu dari mana asal kebencian tersebut. Saat itu Ai merasa seolah dirinya harus menjauhkan diri dari orang-orang yang berbeda agama dengannya. 

Namun, Ai berubah pelan-pelan. Pemikiran Ai mulai terbuka tatkala dirinya menimba ilmu di Pondok Pesantren Darussalam, Ciamis, Jawa Barat, dan lanjut berkuliah di Universitas Paramadina, Jakarta. Ai berlajar berpikir kritis di sana sekaligus hidup berdampingan dengan banyak orang dari berbagai latar belakang. Dia pun tersadar. Kebenciannya terhadap yang “berbeda” bukanlah perasaaan yang dia inginkan. Rasa itu adalah bentukan dari luar dirinya. “Tidak mungkin kebencian itu tidak ditularkan, apakah itu di sekolah atau pun di masyarakat,” kata dia.

Pada 2013, usai mengenyam pendidikan di bangku perkuliahan, Ai pulang ke kampungnya, Pangandaran. Ai gusar melihat orang-orang di sana tampak begitu tertutup dengan budaya luar. Misalnya saja, ada orang tertawa ketika mendengar bahasa daerah atau melihat warna kulit yang berbeda.

Ai menyeleksi para siswanya dengan mengutamakan nilai-nilai keberagaman, kejujuran, dan semangat.

Ai berfoto bersama murid-murid SMK Darma Bakti Karya Parigi.

Ai memandang itu bukan tanpa sebab. Semua berasal dari ketidaktahuan. Inilah yang kemudian menggerakkan Ai membangun komunitas belajar bernama Sabalad. Komunitas ini menjadi wadah anak-anak muda belajar dan berkegiatan. Mulai diskusi mengenai keberagaman sampai pertunjukan seni yang mengkampanyekan perbedaan. “Kami juga melestarikan pertunjukan seni dari pelbagai macam daerah,” ujarnya.

Karena aktivitas-aktivitas tersebut, Komunitas Sabalad mulai menarik perhatian bahkan mendapat sejumlah penghargaan. Pada 2015, Kementerian Pemuda dan Olahraga menobatkan komunitas tersebut sebagai komunitas pemuda terbaik tingkat nasional. 

Sampai pada 2016, Ai dan para pegiat Komunitas Sabalad melihat ada sebuah sekolah swasta bernama SMK Bakti Karya Parigi yang nyaris bangkrut. Dengan penuh keyakinan, Ai dan kawan-kawan menawarkan bantuan pengelolaan untuk sekolah tersebut. Walhasil, Yayasan Darma Bakti Karya pun dibentuk di mana ia menjadi ketuanya. Yayasan ini memiliki program sekolah menengah kejuruan (SMK) gratis yang mengemban konsep multikultural. 

Di tangan Ai, sekolah tersebut berjalan dengan mengusung ide merawat keberagaman. SMK tersebut gratis, tetapi Ai menyeleksi para siswanya dengan mengutamakan nilai-nilai keberagaman, kejujuran, dan semangat. Para siswa di sana berasal dari pelbagai macam daerah dan agama. Pada mulanya, siswa SMK Bakti Karya Parigi di bawah pengelolaan Ai hanya memiliki beberapa siswa yang dapat dihitung dengan jari. Seiring berkembangnya waktu, jumlahnya terus meningkat. Tahun ini, SMK tersebut memiliki siswa 71 orang dengan sistem pembelajaran moving class.

Para siswa SMK Darma Bakti belajar bersama di perpustakaan sekolah.

“Kami punya prinsip, pendidikan itu tidak bisa hanya di sekolah. Harus bergerak dari ego ke eco. Makanya, kami bentuk ekosistem pembelajaran, namanya Kampung Nusantara,” kata Ai.

Ai menjalankan operasional sekolah ini menggunakan uang hasil pengumpulan dana publik atau crowdfunding. Ai membelikan tiket keberangkatan untuk calon siswa yang mendaftar dari pelbagai daerah, memberi mereka makan, asrama, dan segala aktivitas di sana selama tiga tahun. Karena itu, komitmen  para calon siswa yang mendaftar sangat diperlukan.

Bukan hanya mengelola sekolah, Ai juga bekerja sama dengan penduduk kampung sekitar. Ai menjadikan mereka sebagai mitra dan mengubah wajah kampung tersebut sekaligus memberi nama sebagai Kampung Nusantara. Di kampung inilah siswa dari berbagai latar belakang berkegiatan mengkampanyekan perbedaan sekaligus memberdayakan warga sekitar.

“Kami punya prinsip, pendidikan itu tidak bisa hanya di sekolah. Harus bergerak dari ego ke eco. Makanya, kami bentuk ekosistem pembelajaran, namanya Kampung Nusantara,” kata Ai.

Dia pun membuat kampung tersebut menjadi tempat wisata sosial dan budaya. Selain melakukan pertunjukan budaya, para siswa menggambar tembok-tembok rumah di kampung itu dengan cita rasa nusantara. Rumah-rumah tersebut kemudian dimanfaatkan menjadi homestay, sehingga masyarakat juga bisa mendapatkan manfaat ekonomi dari aktivitas tersebut. 

“Tiga pusat pendidikan itu ada di keluarga, masyarakat, dan sekolah. Kami sadar sekolah itu hanya salah satu dari tiga itu. Siswa-siswi beraktivitas leluasa di masyarakat. Kami tidak seperti sistem pesantren yang mengunci siswa di asrama, atau sistem sekolah yang mengunci siswa di sekolah,” tambahnya.

Ai yakin, pendidikan multikultural yang melibatkan masyarakat secara aktif akan membantu Indonesia menjadi lebih harmonis di tengah keberagaman. “Pendidikan itu kan dampaknya panjang. Mungkin baru bisa dilihat 10 tahun lagi. Namun, kami yakin. Kami tidak mau anak-anak kami, adik-adik kami, hidup di tengah radikalisme, bom, dan teror di mana-mana,” kata Ai. “Tujuan kita belajar kan sebenarnya untuk memperoleh bahagia di kemudian hari, mencapai kehidupan yang harmonis.”

Leave a Comment

Your email address will not be published.

Start typing and press Enter to search