GELIAT EKONOMI DI BUMI BADUY

NARMAN

DESA KENAKES, LEBAK, BANTEN

  1. Selama pandemi mereka tetap bertahan dengan situasi
  2. Yang bersangkutan kini mencari penghasilan dengan berbisnis gula aren tanpa meninggalkan Baduy Craft 

Masuknya teknologi internet melahirkan perubahan bagi para perajin di Desa Kanekes, Lebak, Banten.

MEMBUAT kerajinan tangan menjadi salah satu kegiatan masyarakat Baduy yang terus dilakukan untuk melestarikan tradisi sukunya. Kerajinan tangan masyarakat adat yang bervariasi di setiap wilayah, seperti tenun, gelang, hingga berbagai anyaman, bahkan sudah menjadi identitas masyarakat di daerah ini. Sayangnya, adat masyarakat yang terlalu mengisolasi diri dari dunia luar, ternasuk terhadap kemajuan teknologi, membuat karya mereka kurang bernilai ekonomis. 

Kondisi itu memunculkan keprihatinan seorang pemuda asli Baduy bernama Narman, yang tinggal di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Banten. Di Baduy, adat melarang anak-anak, termasuk Narman, pergi ke sekolah. Tapi bukan berarti mereka tidak boleh belajar. Narman tetap diajari baca-tulis dan sedikit pengetahuan umum oleh orang tuanya. 

Meski tidak sekolah, ia ingin berbuat sesuatu untuk meningkatkan perekonomian masyarakat Baduy dengan potensi kerajinan tangan yang dimiliki. Namun, pria kelahiran 1 April 1989 ini tidak tahu bagaimana caranya. Apalagi dia hidup terikat dengan adat dan tradisi yang menolak teknologi.  Masyarakat Kanekes juga menolak pembangunan dan tidak ada listrik yang masuk ke daerah mereka. 

Pada 2016, kebetulan Pemerintah Kabupaten Lebak menggelar sebuah pameran Baduy Festival. Narman ikut membuka anjungan untuk menjual produk hasil kerajinan tangan yang dibuat keluarganya dan juga para tetangga di desanya. Suatu saat, ada pengunjung yang datang ke anjungan miliknya dan menganjurkan agar dia memanfaatkan internet untuk berjualan. Ia diberi tahu bahwa dengan berjualan secara online, ia dapat menjangkau pasar lebih luas dibandingkan dengan berjualan langsung atau menunggu pembeli datang.

Narman menanggapi serius masukan dari pengunjung itu. Ia lalu mencoba membangun usaha online yang diberi nama Baduy Craft. Ia membuat website sendiri yaitu www.baduycraft.com untuk menawarkan produk kerajinan tangan suku Baduy. Ia juga membuat akun Baduy Craft di Facebook dan instagram. 

“Saya ingin masyarakat tidak hanya mengenal tenun dari suku-suku lain di Indonesia. Baduy juga memiliki kain tenun, di samping aneka jenis kerajinan tangan lain yang unik, menarik, dan eksotis,” ucapnya.

Selain itu, ia menjualnya melalui melalui berbagai marketplace seperti Shopee, Bukalapak, Lazada, hingga Blanja.com. Produk yang dijajakan beragam, mulai dari kain tenun, syal tenun, tas koja, tas jarog, tas kepek, gelang handam, gelang teureup, hingga cangkir bambu. Harga yang ditawarkan untuk kain tenun Rp 50 ribu hingga Rp 1 juta, sedangkan aksesori Rp 10 ribu sampai Rp 150 ribu.

Namun, kendala yang harus dihadapi Narman saat berjualan secara online adalah sulitnya akses listrik dan internet. Untuk mendapatkan sinyal, dia harus berjalan kaki sejauh dua kilometer ke Desa Ciboleger. Selain itu, Narman harus berjalan sekitar 12 kilometer untuk memasarkan dagangannya dan untuk sekadar membalas chat dari para pelanggannya serta mengisi baterai ponselnya. 

Pada 2017 Narman bergabung dengan Asephi (Asosiasi Eksportir dan Produsen Handicraft Indonesia). Melalui asosiasi ini, Narman bisa mengikuti pameran demi pameran untuk memasarkan produknya. “Di sini saya belajar banyak hal, dari pelatihan ekspor, kualitas produk, hingga pengembangan skill dan lainnya,” katanya. 

Akhirnya, pada 2018, dengan dibantu orang tuanya, Narman bisa mendapatkan tempat di Ciboleger untuk menjalankan usaha online-nya. Di tempat ini, dia bisa menyimpan barang-barang yang dan tidak perlu lagi menumpang di emperan orang. Narman bekerja sama dengan 25 perajin Baduy Luar yang terus diedukasi agar produk yang dihasilkan berkualitas tinggi dan sesuai dengan selera konsumen. 

Seorang warga Baduy sedang membuat kain tenun yang nantinya akan dijual secara online.

Sepanjang 2017-2019, usaha Narman berjalan baik. Hampir 20 kali dia mengikuti pameran dengan hasil memuaskan. “Keuntungan satu bulan bisa Rp 10-16 juta,” tuturnya.

Narman sempat menghadapi penolakan dari ketua adat Baduy Luar, yang mengatakan penggunaan internet untuk berjualan bisa merusak adat-istiadat yang selama ini berlaku di Baduy. Namun, akhirnya diizinkan. Meski menggarap pasar modern, Narman sama sekali tidak berniat keluar dari tradisi. Ia bahkan berkeinginan masyarakat Baduy tidak perlu keluar dari wilayahnya untuk mencari nafkah. Sebab, dengan bekerja di luar dikhawatirkan bisa terpengaruh budaya di luar adatnya. 

Narman berharap berharap ada banyak juga anak-anak muda Baduy yang berani, yang mau belajar hal-hal baru untuk menopang ekonomi, serta dapat bertahan dari gempuran perubahan zaman tanpa meninggalkan kewajiban melestarikan adat.

Pandemi Covid-19 yang terjadi sejak tahun 2020 hingga 2021 ini sangat berdampak kepada penjualan Baduy Craft karena turunnya jumlah orang yang berwisata ke Kanekes. Karena itu, sekarang ia sedikit beralih ke produk pangan hasil bumi seperti gula aren.

Leave a Comment

Your email address will not be published.

Start typing and press Enter to search