Tiada Sungkan Dampingi Orang-orang dengan Masalah Kejiwaan

Triana Rahmawati

Surakarta, Jawa Tengah

Saat sebagian besar masyarakat tak peduli, tiga mahasiswi ini justru mendekati. Mereka memandang sama orang-orang dengan masalah kejiwaan.

Tiga mahasiswi ilmu sosiologi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret (UNS) menangkap situasi yang kerap terjadi di lingkungan mereka tidak seperti orang kebanyakan. Triana Rahmawati, Febrianti Dwi Lestari, dan Wulandari memiliki perhatian lebih terhadap orang-orang dengan masalah kejiwaan (OMDK). Ketiganya justru miris saat menyadari keberadaan OMDK yang seakan tak pernah digubris. Mereka berharap agar OMDK bisa lebih jauh dilibatkan dalam berbagai interaksi sosial.

“Kami terkadang satu ‘angkringan’ bareng (dengan OMDK). Saat itu saya tidak sadar bahwa mereka mengalami gangguan masalah kejiwaan,” ujar Triana. Ia memandang OMDK sama seperti orang lain, yang memiliki kemampuan untuk melakukan berbagai aktivitas, seperti manusia pada umumnya. “Sebagai masyarakat, kita tentu tidak bisa pasif,” ujarnya.

Maka demi mewujudkan misi tadi, sejak 2012 ketiganya mulai bergerak. Berbagai kampanye dilakukan melalui bendera Komunitas Griya Schizofren, yang tujuannya lebih membiasakan masyarakat dengan masalah kejiwaan dengan kegiatan-kegiatan yang bisa dilakukan semua orang, seperti bernyanyi, menggambar, dan lain-lain. Di tahun ini juga mereka mulai bekerja sama dengan Griya PMI Peduli Surakarta. Di sana, mereka mendapatkan pengalaman serta pemahaman baru, berkolaborasi, hingga mampu membangun jaringan sosial.

Pada dasarnya, Griya Schizofren merupakan komunitas masyarakat yang peduli pada masalah kejiwaan. Seiring waktu, komunitas yang pada awalnya didominasi kalangan mahasiswa itu kini didukung pula oleh para orang tua.

Pada dasarnya, Griya Schizofren merupakan komunitas masyarakat yang peduli pada masalah kejiwaan. Seiring waktu, komunitas yang pada awalnya didominasi kalangan mahasiswa itu kini didukung pula oleh para orang tua.

Namun perjalanan Griya Schizofren bukan berarti selalu mulus. Dua tahun berjalan, rasa jenuh menggelayuti Triana. Aktivitas edukasi dan kampanye yang gencar dilakukannya justru membuatnya kelelahan. “Saya merasa perlu belajar lagi,” ungkapnya. Ia mengakui, program pendampingan bagi para inisiator muda bertajuk Jalan Pemimpin lantas memberinya suntikan semangat baru. “Saya kembali percaya diri, ide saya diapresiasi. Jadi memang harus dilanjutkan,” ujarnya.

Setelah lulus kuliah, Triana mulai melakukan regenerasi kepengurusan Griya Schizofren kepada adik-adik angkatannya. Maka, terhitung sejak 2016, ia lebih fokus melakukan perencanaan, membangun sistem, dan mengakomodasi setiap kebutuhan komunitas ini di masa mendatang, terutama dalam hal pendanaan.

“Pada 2015 kami merasa butuh kemampuan secara ekonomi, kemudian kami mempelajari social enterprise yang kami aplikasikan saat masih mahasiswa, untuk mendanai kegiatan-kegiatan kami,” kata Triana. “Ternyata, setelah kami lulus, uangnya cukup banyak, sehingga kami kemudian mengadakan pula program beasiswa,” ia menambahkan.

Berkat kegiatannya bersama Griya Schizofren, pada 2017 Triana akhirnya berhasil terpilih sebagai penerima penghargaan Semangat Astra Terpadu Untuk (SATU) Indonesia Awards untuk kategori Kesehatan. Permintaan bantuan dari masyarakat untuk penanganan anak atau saudara mereka yang masuk kategori ODMK pun semakin besar. Bahkan, Triana dan timnya sempat berangkat ke Jepang untuk melakukan pendampingan dan memberi dukungan moral bagi satu keluarga dengan anak yang mengalami masalah kejiwaan.

Bersama para relawan, komunitas pun seringkali mengadakan aktivitas menarik, seperti menjual hasil gambar OMDK dengan cara berkolaborasi bersama pengusaha cendera mata. Karya ODMK dipasarkan dengan nama SOLVE (Souvenir & Love). Hasil dari penjualan dikembalikan ke Griya Schizofren untuk selanjutnya diberikan kepada Griya Palang Merah Indonesia (PMI) Peduli sebagai modal pengembangan fasilitas di sana.

Namun, seiring semakin dikenalnya komunitas ini, banyak respons dari masyarakat yang justru ingin menitipkan anggota keluarganya yang berstatus ODMK ke Griya Schizofren, lantaran mengira gerakan mereka sebagai panti. “Sehingga kami merasa masyarakat, terutama keluarga, benar-benar butuh diedukasi dan diberikan pelatihan,” kata Triana.

Karenanya, di masa mendatang, Triana ingin terus bisa menanamkan edukasi masalah kejiwaan mulai dari dalam rumah. Rancangan Kampung Ramah Jiwa pun kini tengah digodoknya sebagai tempat edukasi, interaksi, dan kolaborasi dalam hal pendampingan dan pemberdayaan terhadap OMDK. Serupa dengan pendampingan terhadap anak-anak yang selama ini tinggal di asrama Griya Schizofren, para ODMK pun semestinya bisa diperhatikan pula minat dan potensinya oleh pihak keluarga.

Harapannya OMDK dapat mencukupi dirinya secara ekonomi. Sebab selain menjadi faktor stress release bagi mereka, kemampuan untuk menghasilkan uang akan memberikan OMDK kedudukan yang sama di tengah masyarakat.

“Supaya mereka bisa bekerja sesuai kemampuan dan minatnya, sehingga tetap bisa hidup berdampingan dengan kegiatan di desa,” katanya. Di sebuah bangunan yang akan dinamakan Rumah Edukasi Griya Schizofren, para pendamping diberikan pelatihan untuk mengurusi anggota keluarganya yang berstatus OMDK.

Salah satu Produk SOLVE (Souvenir & Love) yang biasa dijual, hasil penjualan dikembalikan ke Griya Schizofren untuk diberikan kepada PMI (Palang Merah Indonesia).

Harapannya, OMDK dapat mencukupi dirinya secara ekonomi. Sebab, selain menjadi faktor stress release, kemampuan untuk menghasilkan uang akan memberikan OMDK kedudukan yang sama di tengah masyarakat.

Leave a Comment

Your email address will not be published.

Start typing and press Enter to search