Menjaga Asa di Tanah Sumba

Ronaldus Asto Dadut

Tambolaka, Nusa Tenggara Timur

Kontras dengan keindahan alamnya nan magnetis, masyarakat Sumba justru membutuhkan perhatian di berbagai sendi kehidupan.

Dadut telah tertanam sejak ia masih duduk di bangku kampus. Putra asli Sumba, Nusa Tenggara Timur (NTT) ini kerap dibuat prihatin kala menyaksikan sebagian besar masyarakat di tempat ia dilahirkan nyaris tiada tersentuh informasi dan edukasi. Satu isu yang kemudian membuat batinnya kian bergetar adalah ketika rendahnya pengetahuan masyarakat, kerap berujung pada meningkatnya jumlah kasus perdagangan manusia (human trafficking) yang menimpa saudara-saudaranya.

Sekitar 2012, saat ia masih berkuliah, bersama para relawan lain Ronaldus mulai akrab dan aktif melawan maraknya human trafficking di NTT. “Meski jumlah kasus terbanyak di Indonesia bukan dari NTT, korban (kekerasan) hingga meninggal justru paling banyak berasal dari NTT,” ujar lulusan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Nusa Cendana Kupang, itu.

Setelah berhasil meraih gelar sarjana, Ronaldus berkeinginan untuk lekas kembali ke kampung halamannya, lebih serius mengawal masyarakat di sana. Apalagi, ia terbiasa mendampingi para tenaga migran yang dipulangkan ke daerahnya dalam kondisi memprihatinkan; mulai dari menderita sakit fisik hingga mengalami depresi.

Pada 14 Oktober 2014, Ronaldus mulai merintis komunitas berbasis gerakan relawan yang diberi nama Jaringan Relawan Untuk Kemanusiaan (J-RUK) Sumba. Organisasi ini sebagai wujud nyata upayanya membantu masyarakat menyangkut isu human trafficking di ranah non-litigasi. Misi Ronaldus ialah membuka pemahaman masyarakat agar terhindar dari berbagai malapetaka akibat praktik-praktik human trafficking.

“Kami ingin melawan isu-isu human trafficking dengan cara memberikan akses edukasi dan informasi, agar masyarakat memahami betapa bahaya masalah ini,” ungkap Ronaldus.

Namun, seiring waktu, Ronaldus mendapati sejumlah hal lain ternyata juga menjadi permasalahan di Sumba. Karenanya, J-RUK mulai menyesuaikan arah. Tidak lagi sebatas pada human trafficking, melainkan lebih luas, mencakup aktivitas literasi, pendampingan kesehatan, serta kegiatan sosial lain. “Beberapa masalah lain sebenarnya masih erat bertalian dengan isu human trafficking, terutama dalam konteks kesehatan dan literasi,” ujarnya.

Pada dasarnya, tambahnya, kami, generasi muda, siap mengambil peran untuk mengatasi beragam masalah yang terjadi di masyarakat atau setidaknya berusaha mencarikan jalan keluarnya.

Sejak 2020 komunitas J-RUK melakukan berbagai pembenahan, salah satunya dari sisi nama organisasi. Identitas J-RUK tidak mudah untuk dipahami masyarakat setempat serta tidak memiliki landasan filosofis kuat, sehingga perlu rebranding. Pada tahun itu pula, Komunitas Relawan Kemanusiaan (KAREKA) Sumba diputuskan menjadi wajah baru J-RUK.

“Di Sumba, kareka berarti rumah kecil di tengah ladang yang biasa dijadikan tempat berteduh,” kata Ronaldus. “Harapannya, KAREKA dapat menjadi rumah singgah bagi para relawan untuk mereka belajar dan berbagi untuk sesama. Selain itu, bisa bermakna sebagai rumah singgah bagi pihak-pihak yang membutuhkan. Dengan nama baru ini, (kami) tidak mengurangi nilai-nilai kerja relawan, sekaligus mengusung semangat sosial-kebudayaan kami di Sumba,” ujarnya.

Dalam kurun beberapa tahun terakhir, KAREKA giat mendampingi masyarakat di ranah kesehatan, terutama terkait penyakit Tuberkulosis (TB) dan penyebaran Human Immunodeficiency Virus (HIV). Lantaran, dari sekian banyak eks-buruh migran yang pulang ke daerah itu, sebagian besar didapati menyandang masalah kesehatan yang cukup serius.

Langkah edukasi pun gencar dilakukan oleh KAREKA dengan merangkul pihak sekolah-sekolah, maupun lembaga keagamaan. Faktor ekonomi, menurut Ronaldus, kerap menjadi penyebab utama timbulnya berbagai persoalan di tempat itu. “Sebab, masalah ini merupakan masalah bersama. Kita tidak mungkin bergerak sendirian,” kata Ronaldus. Sejak 2017, pengobatan gratis juga telah beberapa kali digelar KAREKA dengan menyasar lokasi-lokasi yang sulit diakses di Sumba. Melalui kegiatan ini, konsep kerja kolaborasi dengan para tenaga medis dari luar daerah pada akhirnya terjalin pula.

Ronaldus bersama Komunitas Relawan Kemanusiaan (KAREKA) berfoto bersama masyarakat dan anak-anak yang sudah didampingi.

Sampai saat ini, secara konsisten KAREKA terus mengawal masyarakat NTT untuk mencegah mereka terseret praktek human trafficking. Selain itu, ribuan anak terus diberi pendampingan mengenai pola hidup bersih dan sehat (PHBS). Tapi Ronaldus masih memiliki mimpi lain. Di masa mendatang, ia ingin mendirikan rumah singgah bagi anak-anak yang membutuhkan perawatan kesehatan, maupun mereka yang mengalami gizi buruk. Melalui rumah singgah, ia berharap penanganan dan perbaikan kondisi kesehatan anak-anak di NTT bisa lebih terintegrasi dan terarah. “Kita bayangkan berapa anak yang bisa terbantu dengan adanya rumah singgah itu nantinya,” ujarnya menerawang.

Leave a Comment

Your email address will not be published.

Start typing and press Enter to search