Aksi Tiga Pemuda Merawat Sidat

Ppilar (Randi Anom Putra)

Bengkulu, Bengkulu

Kian terancamnya jumlah populasi sidat di Bengkulu, diperparah oleh perilaku masyarakat. Padahal ikan ini memiliki segudang manfaat.

RANDI Putra Anom, Akri Erfianda, dan Rego Damantara prihatin terhadap perilaku masyarakat yang tidak mengindahkan fakta kian terancamnya populasi ikan sidat. Tiga pemuda ini bahu-membahu memberikan pemahaman kepada masyarakat di sekitar Kota Bengkulu akan pentingnya memelihara keberlangsungan alam melalui penyuluhan penangkapan ikan sidat ramah lingkungan. Untuk melancarkan berbagai kegiatannya, mereka mengelola sebuah kelompok yang disebut Pelopor Penangkapan Ikan Sidat Liar (PPILAR).

Gerakan ini berawal dari penelitian mengenai keberadaan ikan sidat yang dilakukan Randi pada 2015, saat ia masih duduk di bangku kuliah. Kala itu, alumni Jurusan Kelautan dan Perikanan Universitas Bengkulu ini melakukan survei ke beberapa sungai di Bengkulu. Ia menemukan kebiasaan penangkapan sidat yang tidak ramah lingkungan, masih marak dilakukan oleh masyarakat. Nelayan masih menggunakan alat setrum dan bahan kimia berbahaya, potasium.

Penangkapan dengan metode “ceroboh” itu jelas tidak hanya mengganggu habitat, namun juga ekosistem sungai secara keseluruhan. Bukan hanya ikan sidat, yang populasinya kian menurun, ikan-ikan serta organisme lain bisa ikut terdampak akibat penggunaan kimia dan aliran listrik oleh nelayan.

Pencemaran pun tak terhindarkan. Sehingga, apa pun jenisnya, tangkapan nelayan tentu tidak lagi aman dari sisi kesehatan. Padahal ikan sidat memiliki kandungan gizi yang sangat tinggi. Dari sejumlah penelitian, ditemukan berbagai kandungan vitamin dan mikronutrien dalam ikan sidat. Belum lagi kandungan Omega 3 (EPA) dan Omega 6 (DHA)-nya, yang sangat membantu perkembangan otak serta berfungsi optimal pula sebagai antioksidan.

Mengiringi pembentukannya, PPILAR lantas didukung beberapa nelayan di wilayah Kota Bengkulu. Mereka banyak melakukan penyuluhan dan terus berupaya mensosialisasikan penangkapan sidat dengan menggunakan alat penangkapan ikan tradisional bubu.
Tapi lebih dari sekedar mengembalikan penggunaan bubu, dalam konteks pelestarian lingkungan, sebenarnya solusi yang ditawarkan.

Memberikan pemahaman hingga mengubah pola pikir masyarakat akan pentingnya menjaga kelestarian alam adalah fokusnya.

PPILAR lebih banyak memberi manfaat tambahan untuk masyarakat. Terutama, aspek nilai ekonomi ikan sidat yang jauh lebih tinggi bila dijual dalam keadaan masih hidup. Pasalnya, ikan sidat yang dijual dalam keadaan mati hanya mencapai harga Rp30 ribu per kilogram, sementara sidat hidup bisa dijual sampai Rp60 ribu per kilogramnya.

Penyuluhan yang dilakukan PPILAR pun tidak hanya membahas penggunaan alat atau metode penangkapan saja. Salah satu upaya agar populasi sidat dapat terus bertahan di perairan Bengkulu dilakukan dengan cara melepaskan sebagian ikan yang sudah dibesarkan kembali ke muara sungai. PPILAR ingin semua nelayan di Bengkulu pada akhirnya peduli terhadap keberlangsungan sidat dan lingkungannya.

Memberikan pemahaman hingga mengubah pola pikir masyarakat akan pentingnya menjaga kelestarian alam adalah fokusnya.
Meski sudah diberikan penyuluhan, sebagian nelayan tetap merespons kegiatan mereka dengan penolakan. Tidak satu-dua kali, penolakan berulang kali terjadi. Hingga akhirnya para nelayan merasakan sendiri beragam kebaikan yang mereka kelak dapatkan dari metode penangkapan yang ramah lingkungan.

Belakangan, puluhan nelayan yang tergabung dalam kelompok PPILAR tidak lagi hanya berada di Kota Bengkulu, namun sudah mencapai ke wilayah Bengkulu Utara, Seluma, Kaur, dan Manna. Menjangkau wilayah baru tentu tak mudah. Penolakan kembali terjadi, bahkan sempat dengan kalimat bernada ancaman.

“Selama ini kami bisa makan dari cara ini. Kalau kalian datang ingin mengubahnya, sama artinya merusak dapur kami. Maka kalian yang akan kami setrum,” Randi mengingat salah satu reaksi nelayan-nelayan itu.“Tidak apa kalau belum mau (berubah), tapi harus waspada. Sebab, menangkap ikan dengan (alat) setrum, akibatnya bisa ditahan pihak berwajib,” demikian penjelasan Randi kepada mereka. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2009 tentang Perikanan Pasal 84 memang kerap menjadi senjata ampuh.

Impian terbesar Randi adalah menjadikan ikan sidat Bengkulu menjadi komoditi ekspor. Selama ia tetap teguh dalam berkegiatan, Randi meyakini, pada satu hari nanti mimpinya tersebut dapat terwujud.

Randi Anom memberi edukasi kepada  nelayan agar menangkap sidat dengan metode tradisional.

Meski sulit, kegiatan yang dilakukan Randi bersama kawan-kawannya kemudian membuahkan hasil yang justru menggembirakan semua pihak. Kelestarian lingkungan hidup dapat terjaga dan pola pikir masyarakat nelayan pun telah berubah. Ditambah, aspek kesehatan mereka yang juga terjaga. Selain itu, dengan banyaknya ikan sidat yang ditangkap dalam kondisi hidup, upaya budi daya di kolam pun bisa terlaksana.

Di masa mendatang, berbagai mimpi masih menggelayuti benak Randi. Salah satunya adalah bagaimana supaya fondasi ekonomi bisa juga ditancapkan oleh gerakan mereka melalui budi daya sidat. Langkah-langkah kemitraan dengan para pelaku usaha kuliner di Kota Bengkulu kemudian mulai dijalin. Selain itu, Randi ingin PPILAR mampu menjangkau lebih menyeluruh di wilayah Provinsi Bengkulu.

Impian terbesar Randi adalah menjadikan ikan sidat Bengkulu sebagai komoditas ekspor. Selama tetap teguh dalam berkegiatan, Randi meyakini, pada satu hari nanti mimpinya dapat terwujud.

Leave a Comment

Your email address will not be published.

Start typing and press Enter to search