Kesatria Lingkungan dari Rumbia

Ridwan Nojeng

Jeneponto, Sulawesi Selatan

Inisiatif perubahan sosial dan ekonomi lahir dari gerakan akar rumput. Imbasnya bahkan dirasakan oleh masyarakat yang awalnya sempat menentang.

Jauh sebelum buah perjuangannya bisa diterima oleh banyak pihak, Ridwan Nojeng, pemuda asal Desa Tompobulu, Kecamatan Rumbia, Jeneponto, Sulawesi Selatan, lebih banyak menghabiskan waktu dengan mencari cara untuk memajukan daerahnya. Ia ingin mengubah pola bercocok tanam yang telah turun-temurun supaya dapat menghasilkan kualitas panen yang lebih baik. Tak berhenti di sana, ia juga berupaya untuk meningkatkan perekonomian masyarakat secara menyeluruh.

Pada 2010, Ridwan mulai memperkenalkan pola pertanian modern kepada masyarakat. Mulanya ia merangkul para pemuda setempat. “Di daerah kami ada komunitas pemuda, jadi melalui merekalah kami bisa melakukan sosialisasi kepada para orang tua,” ujarnya. Sasaran penggunaan pupuk organik ini memang para orang tua, sebagai pemilik lahan sekaligus pelaku utama pertanian. Bahkan proses sosialisasi dan edukasi dikatakan Ridwan memakan waktu sampai sekitar lima tahun.

“Karakter dan sumber daya alam di daerah kami sangat bagus, seperti di Bogor, hanya saja terkendala oleh cara berpikir masyarakat,” tutur Ridwan. Padahal, sistem bercocok tanam yang masih tradisional menyebabkan hasil panen di desa tidak maksimal. “Kami berpikir, bagaimana cara supaya petani kami tidak kalah dengan petani Jawa?” ungkapnya. Dari situlah ia berinisiatif untuk mensosialisasikan penggunaan pupuk organik.

Ridwan kemudian mendatangi rumah-rumah para pemuda untuk melakukan edukasi dan memberikan pupuk secara gratis. Pada awal ia melakukan sosialisasi, generasi tua terang skeptis. Para orang tua menganggap, tidak mungkin hasil pertanian di tempat itu bisa menyamai daerah Jawa. Beberapa kali mereka menyebarkan pupuk organik ke sejumlah tanaman tanpa sepengetahuan orang tuanya.

“Maka, ketika orang tuanya bertanya kenapa tanaman sebelah sini lebih hijau dan segar, sedangkan tanaman di sana kuning, barulah kami jelaskan bahwa tanaman ini pakai pupuk organik, sedangkan yang itu tidak,” kata Ridwan. “Setelah itu mereka malah ingin semua tanamannya diberi pupuk organik.”

Sebenarnya Ridwan hanyalah pemuda petani biasa. Bersama lima sepupunya, mereka rutin menyempatkan diri berkumpul, mempelajari tanaman sekaligus melakukan riset tentang pupuk organik. Kala itu, ia kerap melihat tumpukan kotoran ternak yang terbuang percuma sebenarnya berpotensi besar untuk dimanfaatkan. “Kotoran sapi dan kuda saya ambil dari kolong rumah warga, setelah diolah (menjadi pupuk organik) saya berikan lagi kepada mereka,” ujar Ridwan.

Belum pernah berkuliah, sumber informasi Ridwan soal pertanian lebih banyak didapatkan dari buku-buku yang dibelinya di Makassar yang berjarak ratusan kilometer. Saat itu akses internet di desanya masih sangat minim.

Belum pernah berkuliah, sumber informasi Ridwan soal pertanian lebih banyak didapatkan dari buku-buku yang dibelinya di Makassar yang berjarak ratusan kilometer. Saat itu akses internet di desanya masih sangat minim.

Berjalan tiga tahun, pada 2013, Ridwan mulai memproduksi pupuk organik secara massal. Permintaan dari luar kabupaten tak disangka meningkat drastis, bahkan sampai 200 ton. Meski demikian, untuk masyarakat desanya, pupuk organik tetap dibagikan secara gratis setiap musim. Sejak saat itu pula ia mulai merambah ke pengolahan pupuk organik cair. “Pembagiannya ke masyarakat bisa lebih simpel, dalam wadah botol,” ujarnya.

Sistem pertanian di desa Ridwan perlahan kian modern. Masyarakat sudah menerapkan penggunaan mulsa, optimalisasi lahan, serta pola pertanian yang mampu menekan tenaga manusia. Edukasi pertanian selanjutnya memang dilakukan secara menyeluruh, bukan hanya pada penggunaan pupuk organik.

Keadaan ekonomi masyarakat pun berangsur meningkat. Desa telah mampu menyuplai permintaan sayur-sayuran ke luar daerah, bahkan hingga ke Kalimantan. “Kami memang ingin berkontribusi dalam perubahan. Sebab untuk menekan angka kriminal di sini, kondisi ekonomi mesti diperbaiki,” tutur Ridwan. “Melalui sistem pertanianlah saya bisa mulai mengubah perekonomian.”

Tapi sebenarnya misi Ridwan untuk mengubah pola ekonomi masyarakat tidak dilakukannya melalui jalur pertanian saja. Sejak awal, ia sudah menyiapkan mimpi besar untuk dituangkan ke kawasan Rumbia, yakni format solid desa wisata. Pada 2010, saat ia memulai gerakan sosialisasi pupuk organik tadi, Ridwan dan kelompoknya sudah berangkat dari ide ekonomi kerakyatan yang mengarah ke penerapan desa wisata. “Sudah (menjadi) satu konsep itu,” ia mengungkapkan.

Di Lembah Hijau Rumbia ini, para pengunjung diberikan edukasi tentang bagaimana menjaga kelestarian alam.

Menurut Ridwan, perbaikan ekonomi desa baru bisa diwujudkan secara lebih merata melalui desa wisata. Maka saat sistem pertanian baru itu sudah berjalan, desa wisata kian memantapkannya. Kawasan wisata Lembah Hijau Rumbia pun diluncurkan pada 2011. “Sebab satu-satunya gerakan yang bisa mengangkat ekonomi secara utuh adalah wisata,” katanya.

“Kami memang ingin berkontribusi dalam perubahan. Sebab untuk menekan angka kriminal di sini, kondisi ekonomi mesti diperbaiki,” tutur Ridwan.

Terbukti di kawasan Lembah Hijau Rumbia, sekarang puluhan toko dibuka oleh masyarakat dengan melibatkan para pemuda. Mereka menjual suvenir, kue-kue tradisional, dan lain-lain. Selain itu, masyarakat lokal pun banyak yang kemudian membangun vila maupun homestay. “Masyarakat Rumbia kini sudah mampu mandiri dari sisi ekonomi,” ujar Ridwan.

Leave a Comment

Your email address will not be published.

Start typing and press Enter to search