Sepak Terjang Sang Merak dari Timur

Risna Hasanuddin

Manokwari, Papua Barat

Risna Hasanudin berfoto bersama murid-muridnya di Balai Kampung Hiyou, Distrik Neney, Manokwari Selatan, Papua Barat.

Risna Hasanuddin menemui seribu satu tantangan di sepanjang jalan pengabdiannya. Namun, ia bertahan dan justru memperlebar sayapnya ke daerah dan bidang-bidang lain.

Seorang alumnus Pendidikan Ekonomi Universitas Pattimura, Ambon, Maluku, mendapat kesempatan untuk menjadi relawan pengajar di Papua Barat. Dua tahun kontrak ia lalui dengan baik, dari 2012 hingga 2014. Saatnya ia pulang ke kampung halaman, entah menjadi guru atau pebisnis di kota besar. Namun, opsi tersebut tak terbesit di benaknya. Risna Hasanuddin memilih tetap tinggal dan mengajar.

Risna tinggal di Kampung Kobrey, Distrik Ransiki, Kabupaten Manokwari Selatan. Inilah tempat tinggal masyarakat suku Arfak yang hidupnya terbelakang. Ada anggapan bahwa perempuan tak perlu bersekolah tinggi. Maka, sebagian besar perempuan Arfak cuma bersekolah sampai kelas 3 SD. Saat putus sekolah, mereka pun belum bisa baca tulis.

Risna pun mendatangi kepala suku (kampung) Kobrey untuk mengutarakan misinya yang ingin memberikan pendidikan kepada warga Arfak, khususnya kelompok perempuan. Ternyata ia malah diberi tempat tinggal untuk menetap di sana.

Perempuan kelahiran Banda Naira ini datang dari pintu ke pintu untuk mengajak ibu-ibu dan anak-anak ikut pelajaran yang dirancangnya. Awalnya tentu tak banyak yang tertarik. Namun seiring waktu, ia berhasil mengajak 12 ibu untuk menjalani program pendidikan ala Risna.

Pengajaran yang ia berikan seputar membaca, menulis, dan berhitung (calistung). Dia tidak menyangka, makin banyak kalangan perempuan yang berminat belajar. Dari sinilah Risna mendapatkan ide untuk mendirikan Rumah Cerdas Komunitas Perempuan Arfak (RCKPA). Dia ingin virus pendidikan ini makin meluas. Dengan berdirinya rumah belajar yang dibangun secara swadaya dengan koleksi buku seadanya, akhirnya “murid-murid”-nya memiliki tempat berkumpul untuk belajar.

“Kakak kalau pulang, kita bagaimana? Kita tidak ada belajar lagi,” ungkap mereka. Beberapa bahkan sampai menangis tersedu. Lebih jauh lagi, ibu-ibu itu mengaku siap memberi jaminan keamanan dan keselamatan bagi Risna selama mengajar.

Cobaan Bertubi-tubi

Dua tahun tinggal di Kampung Kobrey tak serta-merta membuat pengabdian Risna berjalan mulus. Pada akhir 2014, ia mengalami pelecehan seksual oleh pemuda kampung. Belum pulih dari trauma, beberapa bulan kemudian ia nyaris diperkosa warga yang sedang mabuk. Beruntung, Risna bisa memberikan perlawanan sekuat tenaga sehingga bisa lolos dari malapetaka.

Sayangnya, serbuan cobaan itu belum berhenti. Pada September 2015, ia dihajar oleh lima pemuda hingga kepalanya bocor akibat dipukul dengan batu. Untungnya kali ini ada pengemudi ojek yang menolongnya. Meski begitu, ia mendapatkan lebam di matanya dan perdarahan di hidung selama berbulan-bulan.

Tiga insiden yang hampir merenggut hidupnya itu dirasa sudah cukup untuk membuat Risna kehilangan asa terhadap Kampung Kobrey. Keputusan pun dibuat. Pengabdian terpaksa terhenti. Risna akan pulang kampung.

Namun sebelum itu terjadi, satu insiden terjadi lagi. Puluhan ibu-ibu dipimpin istri Kepala Kampung Kobrey, Yosina Inyomusi, datang menemuinya. “Kakak kalau pulang, kita bagaimana? Kita tidak ada belajar lagi,” ungkap mereka. Beberapa bahkan sampai menangis tersedu. Lebih jauh lagi, ibu-ibu itu mengaku siap memberi jaminan keamanan dan keselamatan bagi Risna selama mengajar.

Tampaknya relasi guru-murid yang selama ini terjalin telah berkembang menjadi ikatan bernama keluarga. Maka Risna pun tak kuat menahan haru. Dia sempat pulang ke Ambon untuk berkeluh-kesah terhadap keluarga di sana, untuk kemudian kembali kepada keluarga barunya di Manokwari. “Saya tersentuh. Kalau bukan saya, siapa lagi yang mau mengajari mereka,” kenang Risna.

Perlahan tapi pasti, kerja kerasnya membuahkan hasil. Sebagian besar ibu-ibu bisa membaca dan berhitung, bahkan ada yang mengambil kejar paket A. Pada 2018, ada 15 anak SMP, 17 anak SMA, bahkan ada 5 anak Arfak yang melanjutkan kuliah. Di luar itu, Risna juga memberikan pelatihan usaha berupa pembuatan tas noken. Ia juga membantu pemasaran ke luar Papua lewat jaringan yang dimilikinya. Maka, perempuan Arfak yang tadinya buta huruf dan hanya berdiam di rumah kini bisa memiliki penghasilan sendiri.

Dengan pencapaian seperti itu, sang merak tak bisa lagi menyembunyikan pesonanya. Risna mendapat beberapa penghargaan dan diajak bekerja sama dengan sejumlah lembaga. Ada Astra, Dinas Pendidikan Manokwari Selatan, dan beberapa yayasan yang menawarkan bantuan pendidikan Bantuan ini ia gunakan untuk membangun gedung pendidikan anak usia dini (PAUD).

Dengan pencapaian seperti itu, sang merak tak bisa lagi menyembunyikan pesonanya. Risna mendapat beberapa penghargaan dan diajak bekerja sama dengan sejumlah lembaga.

Setelah RCKPA

Sembilan tahun berlalu sejak Risna pertama kali menjejakkan kaki di Papua Barat. Gerakan RCKPA sudah makin dikenal dan meluas. Sudah ada para relawan lain yang membantunya mengajar. Risna juga membuka perpustakaan untuk sekolah dan perpustakaan keliling tanpa dipungut biaya agar dapat meningkatkan minat membaca.

Selain bidang pendidikan, Risna juga membuat beberapa program untuk memperbaiki gizi anak Papua. Ia membuka posyandu dan membagikan asupan gizi tambahan berupa susu dan kacang hijau. Ada pula kegiatan lingkungan untuk bersih-bersih sungai dan konservasi tanaman pangan.

Salah satu relawan membantu mengajar di Rumah Cerdas Komunitas Perempuan Arfak.

Maka dari itu, kini Risna sudah tak lagi di Kampung Kobrey. Ia bergeser ke Distrik Oransbari, masih di Manokwari Selatan. Di sini, fokusnya masih tetap di bidang pendidikan, kesehatan, lingkungan, dan pangan. Contohnya, bersama komunitas Muslim di sana, Risna mendirikan Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPQ).

Risna dan kawan-kawan relawan juga memberikan perhatian khusus terhadap dampak pandemi. Mereka melakukan sosialisasi kesehatan dan membagikan 1.000 paket masker.

Tak hanya di Oransbari, gerakan yang digagas Risna juga menjangkau Kota Manokwari. Di kota ini, fokus kegiatannya adalah pembuatan noken berskala industri rumahan. Seiring makin meluasnya jangkauan lokasi dan kalangan, RCKPA pun beralih menjadi Rumah Noken. Dengan begitu, yang diberdayakan tidak hanya perempuan, tetapi juga seluruh lapisan masyarakat. Bahkan kini ada anak-anak Papua dari Wamena, Nabire, Pegunungan Tengah yang ikut terlibat.

Leave a Comment

Your email address will not be published.

Start typing and press Enter to search