Penerang Langkah Tunanetra

Tutus Setiawan

Surabaya, Jawa Timur

Tutus Setiawan kehilangan penglihatan pada usia 8 tahun. Tidak hanya berhasil hidup mandiri, ia juga melakukan berbagai upaya untuk menerangi jalan teman-teman senasib.

Tutus tumbuh seperti anak-anak seusianya. Belajar, bermain, dan berlarian ke sana kemari. Namun, hidupnya berubah ketika usianya menginjak 8 tahun. Ia tersandung dan kepalanya membentur tembok sekolahnya di SDN Dupak 6, Surabaya. Dunia terlihat makin samar di hadapannya, lalu perlahan menghilang. Siapa sangka, kelak justru dialah yang menjadi penerang langkah kawan-kawannya.

Setelah insiden tersebut, ia menjalani perawatan di rumah sakit yang berbeda-beda selama dua bulan. Dokter memvonis, Tutus mengalami ablasi retina, yakni kondisi terlepasnya retina dari jaringan penopangnya. Keluarganya sudah menghabiskan puluhan juta untuk biaya operasi, tetapi tidak menghasilkan apa-apa.

Tutus kecil merasa takut, putus asa, dan terpuruk. Dunianya benar-benar gelap, baik secara harfiah maupun kiasan. Teman-teman sepermainan menjauhinya. Ia pun mengurung diri di rumah sampai 6 bulan, tidak punya kegiatan dan tujuan hidup. Melihat penderitaan sang anak, ibunda Tutus memaksanya untuk bersekolah di SDLB YPAC Surabaya.

Di sana, Tutus baru sadar ternyata ia tidak sendirian. Banyak anak sepertinya, tetapi bedanya, mereka tidak terpuruk. Semua beraktivitas dengan semangat, begitu juga gurunya yang tunanetra. Tutus pun segera kembali pada karakter lamanya, menjadi anak yang aktif dan ceria.

Namun, saat beranjak dewasa, rintangannya bukan sekadar tembok atau parit. Pria kelahiran Surabaya, 6 September 1980 ini harus berhadapan dengan penolakan dari beberapa sekolah, pesimisme orang-orang di sekitarnya, diskriminasi, hingga keterbatasan akses pekerjaan. Kesulitan-kesulitan inilah yang melandasi pendirian Lembaga Pemberdayaan Tunanetra (LPT) Surabaya pada 2003. Bersama teman-teman sesama tunanetra, yaitu Sugi Hermanto, Atung Yunarto, Tantri Maharani, dan Yoto Pribadi, mereka berupaya menghapus stigma bahwa penyandang tunanetra hanya menjadi beban masyarakat.

LPT ini mengusung tiga program utama, yaitu pendidikan dan pelatihan (diklat), advokasi, dan riset.

Sementara itu, pelatihan advokasi diperlukan agar teman-teman difabel bisa memperjuangkan haknya saat terkena diskriminasi di masyarakat. Misalnya, ketika mereka ditolak saat melamar kerja atau membuka rekening di bank. Di bidang riset, LPT pernah meneliti fasilitas dan akses bagi penyandang disabilitas.

Pada 2019, mereka menyusun draft berdasarkan survei pada 2015-2018 yang membuktikan kurangnya fasilitas untuk penyandang disabilitas di Surabaya. Harapannya, draft ini dapat menjadi masukan bagi pemerintah kota Surabaya untuk memberikan fasilitas publik yang memadai bagi penyandang disabilitas.

Hingga 2019, sudah 500 disabilitas tunanetra, keluarga, dan masyarakat diberi pendampingan oleh LPT. Bahkan, Alfian, siswa kelas 3 IPS SMA Negeri 8 Surabaya, yang mengikuti kelas teknologi informasi di LPT, berhasil menjadi Juara kedua dalam ajang Global IT Challenge se-Asia Pasifik pada 2015 di Jakarta.

Terang di Tengah Badai

Tutus kini sudah bekerja sebagai guru PNS yang mengajar di sekolah luar biasa. Namun, teman-temannya yang masih bekerja di sektor swasta harus menghadapi badai yang bertubi-tubi. “Waktu tidak ada pandemi saja mereka sudah terbatasi pergerakannya, ruang kerjanya, apalagi di masa pandemi, jauh lebih terbatasi lagi,” ungkap Tutus.

Lulusan S-2 Universitas Negeri Surabaya (Unesa) ini merancang sejumlah strategi agar LPT bisa terus berkontribusi. Hal pertama yang dilakukan adalah pergeseran dari keterampilan manual ke keterampilan di dunia digital.

Salah satu yang sudah terselenggara adalah pelatihan trading saham bagi tunanetra. Berbagai pelatihan diselenggarakan bekerja sama dengan Bursa Efek Indonesia (BEI). Selain pelatihan, pihak sekuritas yang diajak bekerja sama juga memberikan bantuan modal.

Menurut Tutus, metode seperti inilah yang paling pas diterapkan pada masa pandemi. Jadi, membuat pelatihan daring yang dilengkapi pemberian modal dari mitra atau sponsor. Selain pelatihan di dunia pasar modal, Tutus juga berencana membuat pelatihan digital marketing atau konkretnya, berjualan via marketplace.

Lulusan S-2 Universitas Negeri Surabaya (Unesa) ini merancang sejumlah strategi agar LPT bisa terus berkontribusi. Hal pertama yang dilakukan adalah pergeseran dari keterampilan manual ke keterampilan di dunia digital.

Sayangnya, keterampilan digital membutuhkan peralatan khusus, sementara tidak semua teman tunanetra memilikinya. Salah satunya, screen reader, yakni alat untuk membacakan semua operasi yang terjadi di layar ponsel atau laptop. Kebutuhan inilah yang senantiasa diupayakan oleh LPT, baik lewat dana pribadi, kerja sama dengan pemerintah, maupun swasta.

Kini, memberdayakan tunanetra sudah tidak bisa sekadar mengajarkan huruf Braille. Pergeseran ke industri kreatif dan dunia digital menjadi keharusan. Namun, tantangan ini tak ubahnya perjuangannya dahulu ketika masih bergumul dengan kebutaan. Semua terasa gelap dan tak tahu ke mana mesti menuju. Siapa sangka, 15 tahun kemudian ia mendirikan Lembaga Pemberdayaan Tunanetra yang menjadi penerang jalan teman-teman senasib. Meski pandemi meredupkan lentera itu, langkah Tutus dan teman-teman tunanetra di sana tak terhenti.

Leave a Comment

Your email address will not be published.

Start typing and press Enter to search