Kiprah Petani di Desa Menari

Trisno

Semarang, Jawa Tengah

Minimnya akses dan pandemi tak menyurutkan langkah Trisno melestarikan warisan leluhur di dusunnya, dari profesi asli, mainan tradisional, hingga kesenian lokal.

Pagi-pagi sekali, suhu di Dusun Tanon berkisar 13–19 derajat Celsius. Namun, udara dingin tersebut tak menghalangi warganya untuk berkarya. Usai mengurus ladangnya, para petani melakukan kegiatan yang makin menghangatkan suasana lereng Gunung Telomoyo di Ungaran, Kabupaten Semarang. Mereka menari dan memainkan gamelan. Trisno, salah seorang warga, menangkap peluang dari fenomena istimewa ini dan menjadikannya daya tarik wisata.

Trisno berkuliah di jurusan Sosiologi Universitas Muhammadiyah Surakarta. Setelah lulus, ia kembali ke dusunnya yang berada di Desa Ngrawan, Kecamatan Getasan, Kabupaten Semarang. Di kampung halaman, Trisno kembali menjadi petani. Namun, tak hanya itu. Ia berupaya membangun tempat kelahirannya lewat jalur pariwisata.

Pertama-tama, pria kelahiran 12 Oktober 1981 ini mengajak para warga untuk sadar wisata dan mengolah dusun mereka menjadi dusun wisata. Ia ingin agar kelak orang-orang tertarik untuk datang dan melakukan semacam outbound ndeso, yakni beragam kegiatan seru di desa, seperti bertani, beternak, dan menikmati kesenian.

Ide ini tidak serta-merta diterima oleh penduduk. Tak sedikit yang meragukannya. Namun, pria yang lebih akrab dipanggil Kang Tris ini terus mengajak mereka berdiskusi dan membuka pikiran terhadap hal-hal baru. Akhirnya, setelah beberapa lama, masyarakat pun bersedia bergotong-royong mewujudkan dusun wisata.

Agar mudah dikenal dan dikenang, pada 2012 Trisno menciptakan brand bagi Dusun Tanon, yaitu “Desa Wisata (Dewi) Menari”. Pasalnya, sebagian besar warga dusun merupakan keturunan seniman tari. Maka, mereka yang berkunjung ke Desa Menari akan disuguhi beragam kesenian tari, seperti Topeng Ayu, Kuda Debog, Kuda Kiprah, dan Warok Kreasi yang dibawakan oleh penduduk setempat.

Dalam pengelolaannya, Kang Tris juga mengusung konsep laboratorium sosial yang terdiri dari tiga jenis konservasi, yaitu konservasi profesi asli masyarakat, dolanan tradisional, dan kesenian lokal. Tiga jenis konservasi inilah yang digerakkan dan ditampilkan kepada wisatawan.

Sebagai contoh, para turis diajak mengenal, bahkan menjajal profesi asli masyarakat Dusun Tanon, yaitu sebagai petani dan peternak. Ada program outbound ndeso yang mengajak mereka untuk tinggal di rumah warga sembari ikut menanam padi atau memerah susu sapi. Sebagai hiburannya, wisatawan disuguhi permainan dan kesenian tradisional yang sulit mereka temukan di kota-kota besar.

Berkat kreativitas Trisno ini, dalam tiga tahun perjalanannya, desa wisata ini sudah menghasilkan Rp 250 juta, belum termasuk pendapatan perorangan dari hasil penjualan produk lokal. Riuh-rendah pemberdayaan Desa Menari ini pulalah yang membuat Astra menganugerahkan SATU Indonesia Awards pada 2015.

Sejak itu, Desa Tanon makin sering dikunjungi turis. Bahkan, ada pula yang datang dari Mesir, Filipina, Singapura, Belanda, Rusia, serta Prancis. Selanjutnya, pada 9 November 2016, Desa Wisata Tanon mulai dibina menjadi Kampung Berseri Astra (KBA) karena sejalan dengan 4 pilar corporate social responsibility (CSR) Astra, yakni Kesehatan, Pendidikan, Lingkungan, dan Kewirausahaan.

“Jadi petani atau peternak itu kan tidak mesti nyangkul atau merumput. Mengolah produk, membuat sistem distribusi dan pasar yang berkeadilan, menerapkan teknologi itu kan juga termasuk proses dari bertani dan beternak,” terangnya

Menari di Tengah Pandemi

Geliat pariwisata Dusun Tanon yang sempat bergairah terpaksa harus kembali tenggelam ketika pandemi menyerang. Tidak ada lagi pementasan, tidak boleh ada kunjungan, dan tidak ada latihan sehingga kelompok-kelompok seni seolah mati suri. Pergeseran ke dunia maya pun sulit dilakukan karena terkendala akses internet.

Namun, bukan berarti kegiatan di sana berhenti sama sekali. Aneka kegiatan yang berlandaskan empat pilar Kampung Berseri Astra tetap berjalan. Di bidang kesehatan, ada tes tekanan darah dan saturasi oksigen. Aktivitas kewirausahaan, seperti bertani, beternak, dan produksi tahu juga masih berjalan. Sementara di aspek pendidikan dan lingkungan, Trisno sedang gencar mengajak anak muda untuk mempertahankan profesi asli mereka.

“Jadi petani atau peternak itu kan tidak mesti nyangkul atau merumput. Mengolah produk, membuat sistem distribusi dan pasar yang berkeadilan, menerapkan teknologi itu kan juga termasuk proses dari bertani dan beternak,” terangnya.

Trisno aktif dan gencar mengajak generasi muda untuk mempertahankan profesi asli mereka.

Pengetahuan inilah yang sedang ia coba sebarkan kepada generasi muda di desanya lewat kelompok tani dan ternak. Dengan banyaknya pekerjaan yang bisa dilakukan di kampungnya, Trisno berharap para pemuda dusun tidak lagi menjadi buruh di tempat lain, tetapi bisa berkarya di kampung sendiri.

“Konsentrasi utama kami memang lebih ke konservasi itu, biar anak-anak muda di sini mau mengembangkan dunia pertanian dan peternakan dengan konsep dan cara anak muda sendiri,” pungkasnya.

Leave a Comment

Your email address will not be published.

Start typing and press Enter to search