Cimol yang Mengubah Perekonomian

Resika Caesaria Priyono

Banyumas, Jawa Tengah

Terkadang, pemicu utama sebuah keberhasilan bisnis adalah mau mengambil risiko saat sedang kepepet serta cepat menangkap peluang.

Resika tidak pernah membayangkan sebelumnya bahwa jalan hidupnya akan diubah oleh cemilan sederhana yang bahkan bukan berasal dari daerahnya. Saat “demam cimol” melanda Ajibarang, Jawa Tengah, pada 2005, Resika mulai penasaran, cemilan apa ini sebenarnya, kenapa bisa sampai populer sampai ke luar wilayah Jawa Barat, daerah asal cemilan ini. Baginya, fenomena itu sekadar tren kuliner belaka, sama seperti tren-tren makanan lainnya.

Resika adalah anak terakhir dari empat bersaudara yang dilahirkan ketika usia kedua orang tuanya terbilang lanjut. Keadaan itu menampar kesadarannya begitu kuat. Ia tahu harus melakukan sesuatu. Apalagi ia tetap ingin melanjutkan sekolah ke SMA, yang akan terancam gagal jika keluarganya tidak mendapatkan penghasilan lagi. Meskipun kakak pertamanya mau membantu membayar uang masuk SMA, ia tetap harus mencari sendiri untuk kebutuhan setiap bulannya.

Ia mulai berpikir, apa yang bisa dilakukan remaja usia 16 tahun seperti dirinya. Pengalaman tak punya, terlebih lagi modal. Demam cimol yang mulai merembet ke daerahnya mencetuskan ide sederhana bahwa ia bisa mencoba berjualan cimol juga, mumpung belum banyak pemainnya.

Dengan modal Rp 63.000 ia mengusulkan kepada orang tuanya untuk berjualan cimol buatan sendiri. Kedua orang tuanya sebagai tim produksi, ia sebagai tim marketing. Keluarganya adalah tim pertamanya. Ia memasarkan cimol buatan rumahnya kepada teman-teman di sekolahnya dengan cara menitipkan di kantin sekolah dan ternyata banyak yang suka.

Uang hasil usaha dipakai untuk memutar produksi, biaya hidup mereka sehari-hari, bahkan untuk biaya Resika menyelesaikan sekolah hingga bisa kuliah. Selama menjadi mahasiswi pun Resika tetap menjalankan usahanya itu. Hingga akhirnya ketika ia lulus kuliah, ia mulai serius membuat badan usaha formal dan mengurus merek dagangnya sendiri.

“Cimol aja bisa mengangkat perekonomian keluarga saya. Saya yakin cimol juga bisa mengangkat perekonomian keluarga lain.”

Ketika melihat banyak tetangganya yang masih kesulitan secara ekonomi, Resika berinisiatif untuk menawari mereka ikut berjualan cimol. Resika menyadari bahwa banyak dari masyarakat kurang mampu di lingkungan sekitarnya yang tidak berani memulai usaha sendiri karena tidak punya modal. Seandainya pun punya modal, mereka tidak tahu harus usaha apa dengan modal itu. Ketika akhirnya tahu mau usaha apa, mereka tidak punya kemampuan untuk mengelola dan mengembangkan.

Berdasarkan analisis atas tiga masalah utama itu, Resika mulai mengembangkan waralaba gratis untuk masyarakat kurang mampu sebagai paket usaha sosialnya. Resika juga membuka sistem waralaba bagi golongan menengah dan pekerja, namun sistemnya tidak gratis. Hasil dari pendapatan waralaba untuk golongan menengah ini menjadi subsidi bagi waralaba gratis.

Beberapa pekerja sedang membuat cimol yang dipersiapkan untuk para pelanggan.

Badai pandemi yang menghantam banyak industri kuliner juga dirasakan oleh Resika. Apalagi sebagian besar mitranya berjualan di sekolah dan kampus yang saat pandemi berubah sistem menjadi daring. Pasar pembeli mereka pun menyusut dengan tajam. Resika menyadari bahwa dia pun harus melakukan sesuatu, atau akan sama seperti banyak pemilik usaha yang terpaksa gulung tikar.

Ia memutuskan untuk beradaptasi dengan cepat. Saat tren konsumsi masyarakat semakin bergeser dari offline ke online. Selama pandemi Resika juga aktif mengadakan pelatihan daring bagi para mitranya. Materinya sederhana saja, yakni tentang bagaimana cara berjualan online lewat gawai dan media sosial yang mereka miliki serta memberikan semangat dan dukungan untuk terus berusaha bertahan di tengah pandemi.

Strategi ini dirasa berjalan dengan sangat baik, terbukti dengan kenaikan penjualan hingga pernah mencapai 100% bisa dibandingkan dengan rata-rata jual selama 15 tahun ia membuka usaha cilok ini.

Selama lima belas tahun ia mengelola usahanya ini, dari awalnya cuma ia dan keluarganya saja hingga sekarang ada 400 mitra yang aktif. Hal yang paling dirasakan Resika sebagai hambatan adalah mengubah pola pikir masyarakat kurang mampu yang sudah terbiasa untuk pasrah dan menunggu bantuan datang dari pemerintah.

Pola pikir semacam inilah yang ingin terus diubah oleh Resika, minimal di kalangan mitra yang bekerja sama dengannya. Agar usaha yang ditekuninya tidak sekadar mendatangkan manfaat bagi dirinya, tetapi juga bagi masyarakat di sekitarnya yang membutuhkan.

Leave a Comment

Your email address will not be published.

Start typing and press Enter to search