Saat Minat Baca Mewarnai Wilayah Boja

Heri Chandra Santoso
Kecamatan Boja, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah

Heri Chandra Santoso, bersama anak-anak yang diajari bermain musik menggunakan kaleng bekas.

Kehadiran Komunitas Lereng Medini di wilayah Boja telah mengubah pola pikir warganya yang kini menjadi gemar membaca.

Minimnya akses terhadap ruang baca telah membuat masyarakat di Kecamatan Boja, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah, tertinggal jauh dari yang namanya pendidikan. Anak-anak yang mengenyam pendidikan setingkat SMA dan perguruan tinggi di wilayah ini bisa dihitung dengan jari. Bagi masyarakat di Kecamatan Boja ini, mencari kerja jauh lebih penting ketimbang melanjutkan sekolah.
Sebagai warga desa yang tinggal di Boja, seorang pria bernama Heri Chandra Santoso merasa prihatin melihat kondisi di daerahnya itu. Pria kelahiran Kendal, 22 Mei 1982, ini ingin anak-anak yang ada di daerahnya juga bisa mengenyam pendidikan tinggi sama seperti dirinya yang saat itu bisa sekolah hingga ke perguruan tinggi.


Berbekal ilmu yang didapatkan sebagai alumnus Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro Semarang, Heri kemudian berinisiatif untuk mendirikan pondok baca ajar di desanya. Pada 2006, dibantu Sigit Susanto, seorang sahabat yang sudah bertahun-tahun tinggal di Swiss dan sama-sama pecinta sastra, Heri mendirikan taman bacaan dan perpustakaan gratis yang diberi nama Pondok Maos Guyub.


Sigit memberikan rumahnya di Jalan Raya Bebengan 221, Desa Bebengan, Kecamatan Boja, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah, untuk dipakai menjadi pondok baca ajar dan sekaligus padepokan sastra bagi masyarakat desa. Awalnya, Heri dan Sigit hanya mengisi buku-buku milik pribadi mereka di perpustakaan itu. Selain buku bertema umum, banyak dari koleksi buku itu bertemakan sastra, karya para masterpiece dan peraih nobel sastra.

Di luar dugaan, ada 40-50 warga yang datang ke perpustakaan setiap hari. Melihat respons warga yang sangat antusias, mereka mulai memikirkan agar di Pondok Maos Guyub ini warga tidak hanya membaca buku saja, tapi ada kegiatan-kegiatan yang membuat perpustakaan itu dinamis. Misalnya, warga bisa berdiskusi, berbagi pengalaman, dan belajar bersama.

Pada 2008, Heri dan Sigit mengubah nama Pondok Maos Guyub menjadi Komunitas Lereng Medini (KLM), yaitu tempat komunitas pecinta dan penikmat sastra. Nama Medini diambil dari nama perkebunan teh Medini, yang berada di lereng sebelah barat Gunung Ungaran.

Beragam kegiatan diadakan di KLM, mulai dari bedah karya sastra, musikalisasi puisi, pentas teater, bulan bahasa, dan parade sastra. Salah satu kegiatan yang diadakan Heri adalah kelas reading group atau klub baca yang diadakan setiap Minggu pagi dengan berpindah-pindah tempat. Untuk mendekatkan puisi kepada masyarakat, dia juga membuat kegiatan Jemuran Puisi.

Selain itu, Heri juga mengadakan kegiatan Sastra Sepeda, yaitu memperkenalkan karya sastra dengan bersepeda keliling kampung. Kegiatan-kegiatan KLM sangat disukai banyak orang, termasuk warga dari luar Boja yang kemudian berdatangan dan dengan sukarela memberikan bantuan buku-buku. Hasilnya, koleksi buku waktu itu bertambah hingga mencapai lebih dari 3.000 judul buku.

Anak-anak bergembira ketika di kampungnya ada perpustakaan, hal ini dapat menumbuhkan niat baca bagi mereka.

“Kesadaran warga sekitar akan arti pentingnya pendidikan bagi anak-anaknya ini betul-betul membahagiakan saya. Karena, investasi pendidikan itu sangat menentukan masa depan anak-anak itu ketimbang hanya mereka secepat-cepatnya diminta kerja untuk membantu orang tuanya,” kata Heri.

Pada 2014, Heri mengadakan Kemah Sastra yang kemudian menjadi acara tahunan. Spirit acara ini adalah untuk mendekatkan penikmat sastra dengan para maestro sastra. Dalam setiap acaranya, KLM selalu mengundang sekolah-sekolah di sekitar Kendal untuk mengirim siswanya sebagai peserta. Semua sekolah menyambut baik acara ini. Setiap tahun, ada sekitar 150 orang yang hadir menjadi peserta.

Baru-baru ini, KLM juga memiliki inisiatif untuk mengadakan Wakul Pustaka dengan menaruh buku di dalam wadah nasi yang terbuat dari anyaman bambu, dan meletakkannya di warung-warung yang ada di seputaran Boja. Setiap 1-2 bulan sekali, buku-buku itu akan diganti dengan yang baru.

“Respons pemilik warung dan para pembeli cukup bagus. Bahkan, kami mendapat permintaan untuk buku-buku bertema anak. Karena, menurut mereka, anak-anaknya jadi gemar membaca saat membawa buku-buku yang ada di wakul itu ke rumah,” kata Heri.
Hingga sekarang, Heri mengatakan masih rutin mengadakan kelas reading group dan sudah selesai membaca tiga novel, yaitu The Old Man and the Sea, karya Ernest Hemingway. Kemudian novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari dan novel Metamorfosa Samsa karya Franz Kafka.

Kehadiran KLM di wilayah Boja telah mengubah pola pikir warganya yang dulu sangat tidak peduli terhadap dunia pendidikan, tapi kini menjadi masyarakat yang gemar membaca. Tingkat pendidikan di daerah ini relatif meningkat seiring dengan membaiknya perekonomian warga. Artinya, mulai banyak warga yang mengenyam pendidikan di perguruan tinggi.

Leave a Comment

Your email address will not be published.

Start typing and press Enter to search