Gerakan Menyatukan Perbedaan Dari Sanggar

Zainul Arifin

Lumajang, Jawa Timur

Sempat ditolak masyarakat, komunitas seni dan budaya ini tetap berjalan. Kelak berujung manis pada pertumbuhan ekonomi di Pasinan.

Indonesia Zainul Arifin bukan tergolong anak rumahan. Ia menyadari bahwa peluang untuk mendapatkan pengalaman terkait strategi mengelola komunitas akan lebih besar ia bisa peroleh dari luar lingkungan keluarga. Melalui wadah komunitas, ia kelak mewujudkan tekadnya. Ia berharap agar setiap perbedaan yang ada pada masyarakat bisa bersanding harmonis dalam balutan seni dan budaya.

“Saya sangat jarang berada di rumah, sejak SMP sudah senang berkegiatan di alam terbuka,” ungkap lulusan SMKN 1 Lumajang Jurusan Perkantoran ini. Berkomunikasi dengan orang-orang dengan karakter berbeda memang menjadi bagian dari aktivitas favoritnya. Sebab ia merasa, banyak pelajaran yang bisa diambil dari proses interaksinya dengan orang lain.

Keseriusan Zainul dalam berorganisasi sudah tampak sejak remaja. Pada 2007, saat baru lulus SMA, ia mendirikan CIO (Culture Indonesian Organization). Lembaga ini bergerak di bidang outbound training dan human development. Selanjutnya, dibentuk pula sanggar CIO Art Culture, yang sejak awal konsentrasinya di bidang seni budaya dan kearifan lokal.

Rupanya, banyak anak-anak dengan masalah rumah tangga yang kemudian bergabung di CIO Art Culture, sampai ada juga residivis kasus narkoba, dan sebagainya. “Rata-rata yang ikut sanggar kami adalah mereka yang awalnya tidak mencintai budaya. Sehingga, di komunitas ini mereka kembali memiliki ruang untuk berekspresi,” ujarnya. Maka, di sanggar, Zainul bukan hanya mengangkat nilai seni, ia juga memberikan pemahaman mengenai aktivitas kemasyarakatan.

Upaya pelestarian dan pendidikan seputar seni, budaya, serta kearifan lokal ditanamkan kepada para anggota dengan konsep kekeluargaan di mana aspek budaya merupakan pendekatan terbaik dalam menyatukan negara dari perbedaaan.

Mulanya, kegiatan Zainul bersama kelompoknya hanya dilakukan di beberapa tempat tertentu di sekitar Lumajang. Baru mulai 2014 ia mengusungnya ke lingkungan di sekitar tempat ia tinggal di Dusun Pasinan, Desa Karangbendo, Lumajang, Jawa Timur. Namun kenyataannya, masyarakat di sana masih menjunjung tinggi nilai-nilai religius. Sebagian dari mereka pun masih berpikiran bahwa alat-alat musik tradisional haram hukumnya.

Wakil Gubernur Bali, Tjokorda Oka Artha Ardana Sukawati bersama Zainul Arifin, pada saat kerjasama kebudayaan antara Lumajang dan Bali.

Maka langkah ini menjadi tidak semudah kegiatan-kegiatan yang mereka telah jalani di kota. Beragam respons penolakan sempat terjadi oleh masyarakat desa. Lambat-laun, mereka dapat lebih leluasa beraktivitas di tengah masyarakat Pasinan, meski kehadiran sanggar belum sepenuhnya diterima.

Namun berbagai pendekatan terus dilakukan dengan berbagai kalangan, salah satunya Raja Ubud yang kini menjabat pula sebagai Wakil Gubernur Bali Tjokorda Oka Artha Ardana Sukawati. Dari komunikasi tersebut, muncul kerja sama kebudayaan antara Lumajang dan Bali.

Aktivitas CIO kemudian diupayakan agar setidaknya bisa melibatkan masyarakat, di antaranya melalui sosialisasi antinarkoba yang merangkul Badan Narkotika Nasional (BNN). Kegiatan semacam ini cukup menarik minat masyarakat meski belum pada konteks keseniannya. Zainul kemudian mulai berinisiatif untuk menyentuh aspek ekonomi masyarakat yang sebagian besar adalah perajin mebel.

Upaya pelestarian dan pendidikan seputar seni, budaya, serta kearifan lokal ditanamkan kepada para anggota dengan konsep kekeluargaan di mana aspek budaya merupakan pendekatan terbaik dalam menyatukan negara dari perbedaaan.

Pasinan Dingklik Festival

Sejak 2015, masyarakat perajin mebel diajak ambil bagian dalam acara Pasinan Dingklik Festival. Di dalam gelaran atraktif tersebut, para perajin membuat kursi-kursi kecil alias dingklik hanya dalam waktu 20 menit. Jelas, ini memancing antusiasme pengunjung yang luar biasa. Apalagi turut dikemas dengan tetap menampilkan pertunjukan seni dan kebudayaan.

Produk-produk kursi kecil buatan masyarakat kemudian dilelang. Dalam festival keempat pada 2018, terjadi aktivitas ekonomi hingga Rp 200 juta dengan dihadiri sekitar 8.000 pengunjung. “Kami sampai kewalahan,” ujar Zainul. “Bagaimanapun, festival itu kami adakan demi merajut kearifan lokal.”

Berkat kesuksesan pelaksanaan sejumlah festival tersebut, pada 2017 As’at Malik, selaku Bupati Lumajang yang menjabat kala itu, lantas meresmikan kawasan tersebut sebagai Kampung Kreatif Mebel Pasinan. Sehingga kian berdampak terhadap beberapa hal, terutama kian menggeliatnya pemasaran mebel dan aktivitas pemberdayaan masyarakat yang turut meningkat. Beberapa pemuda desa bahkan kemudian dipercaya untuk memberikan pelatihan ke kota-kota lain.

Kini, Zainul bersama kawan-kawannya di desa terus mengembangkan beberapa program baru, di antaranya mengoptimalisasi lahan-lahan terbengkalai dan jalan penghubung antardesa. Jalan yang awalnya kotor dan sering dipakai untuk kegiatan yang kurang baik mulai dibersihkan. Area itu akan dimanfaatkan untuk sarana berjualan masyarakat setiap hari Minggu.

“Fokus kami saat ini, bagaimana caranya supaya masyarakat dapat tetap berkesenian dan merawat kearifan lokal, tapi bisa merasakan pula manfaat ekonominya,” ujar Zainul. Aktivitas kesenian dan budaya pun masih terus dijalankan. Sanggar CIO kini rutin diundang oleh hotel-hotel di sekitar Kota Lumajang untuk menampilkan keterampilan mereka, di samping tetap menjalin kerja sama baru dengan berbagai komunitas seni dan budaya dari daerah-daerah lain di Indonesia.

Leave a Comment

Your email address will not be published.

Start typing and press Enter to search