Literasi Keliling untuk Anak Negeri

Eko Cahyono

Malang, Jawa Timur

Pada dasarnya saya memang suka berkeliling karena bisa bertemu banyak orang dan berdialog langsung. Jadi sekalian saja saya jemput bola mengajak masyarakat untuk mulai membaca.

Eko Cahyono jatuh cinta pada buku sejak ia kecil. Meskipun kedua orang tuanya tidak tamat pendidikan dasar dan bekerja sebagai petani serta penjahit pakaian, Eko menyadari bahwa membaca buku adalah jendelanya melihat dunia yang lebih luas. Hobinya mengumpulkan buku dimulai tahun 1996. Saat itu ia baru mampu membeli majalah bekas yang dijual murah, ia bahkan tidak punya buku sama sekali.

Eko memendam keinginan untuk bisa melakukan sesuatu agar anak-anak di sekitarnya gemar membaca. Selain itu, ia memendam cita-cita untuk memiliki perpustakaan sendiri agar bisa leluasa membaca buku sampai puas. Ia kemudian memberi nama perpustakaan itu Pustaka Anak Bangsa.

Meskipun aktivitas literasi yang dia lakukan bisa dibilang sepenuhnya punya nilai positif, ada saja pihak-pihak yang tidak suka, bahkan kedua orang tuanya sendiri. Saat awal rumahnya mulai ramai didatangi warga sekitar untuk membaca buku, orang tuanya merasa terganggu dan akhirnya memberinya ultimatum untuk menghentikan aktivitasnya atau mencari tempat lain.

Karena itu, Eko pun nekat menjual sepeda motor miliknya agar bisa mengontrak rumah. Ia akhirnya punya tempat yang lebih lapang untuk meneruskan aktivitasnya. Namun, masih saja ada warga yang tidak suka. Saking seringnya anak-anak muda sekitar datang ke perpustakaannya saat malam hari, perpustakaannya pernah digerebek warga akibat dianggap menyediakan buku-buku bermuatan pornografi serta jadi tempat kumpul-kumpul maksiat anak-anak muda. Ia bahkan sempat dilaporkan ke polisi karena tuduhan itu.

Lambat-laun masyarakat akhirnya bisa mengerti bahwa anak-anak muda di wilayah mereka sedang benar-benar jatuh cinta pada buku dan datang ke perpustakaan untuk mencari buku-buku yang menarik minat mereka. Masalah tidak berhenti sampai di sana. Karena statusnya masih mengontrak, ia harus rela berpindah-pindah kontrakan bahkan hingga sembilan kali dari 1998 hingga 2011. Sampai akhirnya ia mendapat bantuan dana dari pemda yang bisa ia belikan tanah untuk perpustakaan permanen, dan juga mendapat bantuan dari pihak lain untuk bisa mendirikan bangunan di atas tanah tersebut.

Hingga hari ini masyarakat lebih senang jika anaknya main ke perpustakaan daripada berlarian ke tempat yang tidak jelas. Bahkan banyak ibu yang senang menitipkan anaknya di perpustakaan karena bisa bermain dan belajar. Masyarakat akhirnya jadi ikut merasa memiliki perpustakaan tersebut.

Eko melihat bahwa sebenarnya banyak orang yang suka dan ingin membaca buku-buku yang menarik, namun terkendala oleh harga buku serta sulitnya akses mendapatkan buku-buku yang cocok bagi mereka. Kalaupun ada perpustakaan umum atau toko buku, letaknya jauh, transportasinya mahal, bahkan syarat meminjamnya sulit. “Saya berpikir sebenarnya anak-anak kampung sekalipun banyak yang suka membaca asal ada bukunya. Sehingga sampai saat ini saya tidak setuju kalau dikatakan minat baca masyarakat Indonesia itu rendah.”

“Kayaknya anak-anak muda sekarang lebih banyak punya peluang dan kesempatan untuk berbuat sesuatu yang lebih. Harusnya ini dimanfaatkan dengan baik dan benar. Apalagi dengan perkembangan media sosial yang sangat canggih. Anak muda harus terus berubah. Ciptakan sesuatu yang baru dan bermanfaat bagi sekitar. Menurut saya, hidup normal itu membosankan. Kita butuh sedikit gila. Jadi ayo ramai-ramai kita menjadi gila (dalam hal positif).”

Ia ingin semakin banyak orang yang jatuh cinta pada buku sepertinya dan menemukan banyak hal baru serta pengetahuan positif. “Buku bisa mengubah nasib seseorang. Memang saya nggak bisa menyebutkan ribuan, tapi setidaknya puluhan sampai ratusan anak dari yang awalnya lulusan SD, kemudian sering baca lalu ingin sekolah lagi, kemudian ikut kejar paket B-C, dan kemudian kuliah sampai akhirnya jadi guru.”

Sembari merapikan perpustakaan kecilnya yang makin berkembang, Eko mulai berkeliling menyediakan layanan perpustakaan keliling yang menjangkau seluruh kecamatan di Kabupaten Malang. Kini tercatat 26 perpustakaan menjadi perpanjangan tangan Pustaka Anak Bangsa yang tersebar di 35 desa di tujuh kecamatan se-Kabupaten Malang; antara lain Poncokusumo, Tumpang, Wates, Kepanjen.

Perpustakaan kampung di Malang. Foto Andi Prasetyo

Perpustakaannya buka 24 jam, dan di sana tak cuma ada peluang membaca koleksi ribuan buku. Namun kegiatan lain bisa dilakukan seperti belajar komputer, melukis di kanvas, menonton film bareng, belajar memasak, menjahit, diskusi setiap Sabtu malam, hingga menanam sekitar 27 tanaman obat-obatan tradisional. Bahkan terdapat bimbingan belajar bagi pelajar sekolah dasar atau madrasah ibtidaiyah secara gratis. Cakupannya pun semakin luas dengan menggelar perpustakaan keliling di pos ojek, salon, bengkel motor, rental komputer, dan lain-lain.

Leave a Comment

Your email address will not be published.

Start typing and press Enter to search