MENTAL TEBAL PETANI ORGANIK MILENIAL

MAYA STOLASTIKA

MOJOKERTO,JAWA TIMUR

Tanpa pengalaman, tidak pula sempat mengenyam pendidikan bidang pertanian. Namun kegigihan Maya yang tiada kendur akhirnya berbuah usaha yang subur.

BUKAN cuma sekali Maya Stolastika Boleng berhadapan dengan kegagalan saat mengajak para petani untuk beralih ke sistem pertanian organik. Meski demikian, semangatnya pantang pupus dalam berupaya agar bisa memberi manfaat. Seraya mengembalikan hakikat pertanian agar kembali bercitra baik.

Karakter wanita kelahiran Waiwerang, Flores Timur ini bisa dikatakan cukup unik. Ketika banyak anak muda lain memilih bekerja di perusahaan rintisan (start-up) atau bergabung dengan industri yang lebih mapan, lulusan Sastra Inggris Universitas Negeri Surabaya (Unesa) ini malah memilih menjadi petani organik. Rupanya ini didukung pula dengan hasratnya untuk memelihara lingkungan agar berkesinambungan.

Maya tertarik terjun ke dunia pertanian organik pada 2008. Saat itulah ia pertama kali memahami filosofi pertanian organik dari salah satu guru yoganya ketika berkunjung ke Bali semasa kuliah. “Ada pertanyaan yang tidak bisa saya jawab, yaitu kebaikan apa yang telah saya lakukan untuk lingkungan sekitar selama hidup saya,” kenangnya. 

Kami menjadi petani bukan karena tidak mampu bersaing dengan teman-teman di dunia pekerjaan lain, tapi kami memang memilih ini dari hati.

Bersama empat kawannya sesama mahasiswi Unesa, ia memulai kegiatan dengan membentuk usaha Kembang Organik. Modalnya mereka kumpulkan dari hasil mengajar di sebuah lembaga kursus bahasa Inggris, serta berjualan makanan ringan di area kampus. “Pada tahun pertama, kami tidak berhasil mendapatkan pasarnya, modal pun habis. Tidak ada untung, justru ada utang,” ujar Maya. 

Setahun berikutnya, jalan mulai terbuka. Manajer sebuah supermarket di sekitar tempat ia mengajar menawarkan kerja sama untuk memasok sayuran organik di tokonya. Dari sanalah peluang menyuplai ke tujuh supermarket di Surabaya akhirnya terbuka. 

Sayangnya, pada 2010 kelegaan tersebut harus terhenti. Rupanya, tidak mudah bagi anak muda untuk menjalani aktivitas sebagai petani. Saat kesempatan baru terbuka, tiga rekan Maya justru mundur dari Kembang Organik. Maya pun harus meyakinkan kembali kepada lingkungan terdekat, terutama keluarga, mengenai jalan yang mereka tempuh ini. 

Kami menjadi petani bukan karena tidak mampu bersaing dengan teman-teman di dunia pekerjaan lain, tapi kami memang memilih ini dari hati.

Setelah sempat vakum selama dua tahun karena menjalani karir di Bali, bersama seorang rekannya, Wita, usaha Maya kembali berlanjut pada Maret 2012. Namun ini ternyata awal bagi kejatuhan mereka berikutnya. Usaha pertanian organik yang kemudian diberi nama Twelve’s Organic itu pada 2014 terpuruk. Modal mereka nyaris ludes. Penyebabnya, kebun gagal panen yang dipicu oleh pemberian herbisida oleh pihak-pihak tertentu. “Saat itu, saya dan Wita berpikir, mau lanjut apa tidak. Kami hanya bisa berdoa,” ia mengenang. 

Hingga pada satu saat, kerisauan mereka terjawab. Salah satu pemimpin perusahaan di Surabaya menawarkan kerja sama untuk mengolah lahan milik mereka yang tidak tergarap. “Kami mengelola lahan sekitar 3.000 meter persegi, dari situ semua jalan dibuka lagi oleh Tuhan,” ujar Maya. 

Sebenarnya dunia pertanian mengajarkan kita untuk menghasilkan kebaikan. “Petani menanam bibit terbaik, dirawat dengan cara terbaik, agar hasilnya juga baik. Ini membuka mata kita tentang dunia pertanian sejatinya, intisarinya,” tuturnya.

Mereka lantas membuka Golden Fresh Market. Dalam format ini, kebun diatur sedemikian rupa seperti pasar. Maya menyebutnya sebagai supermarket alam. Pembeli yang datang diajak masuk ke kebun dan memilih langsung sayuran segar yang dibutuhkannya. “Mereka bisa memanen sendiri atau kami panenkan,” katanya. Konsumen tinggal bayar setelah sayuran disortir, dicuci bersih, dan ditimbang. 

Melalui Golden Fresh Market, Twelve’s Organic mulai menyasar pasar sayuran organik skala rumah tangga. Sampai sekarang, konsumen mereka sekitar 250 rumah tangga yang tersebar di Malang, Mojokerto, Sidoarjo, Surabaya, Gresik, Jabodetabek, dan Bali. Selain itu, ada juga beberapa agen atau reseller yang menyuplai hasil kebun mereka ke beberapa toko khusus organik, supermarket, hingga restoran. 

“Setahun berjalan, pada 2015 kami mulai mencoba menyelesaikan persoalan-persoalan yang dihadapi para petani,” ungkap Maya. Selain itu, aktivitas pendampingan pun dilakukan terhadap kelompok-kelompok anak muda. Maya bersama timnya mendampingi generasi muda yang tertarik untuk merintis usaha pertanian organik.

Umumnya, petani anggota Twelve’s Organic merupakan buruh tani Penggarap yang tidak punya lahan. “Jadi mereka dipersilakan mencari lahan, selanjutnya kami yang menyewa. Benih pun dari kami,” kata Maya. “Mereka tinggal datang, menanam, dan merawat tanaman. Adapun harga sayur kami bahas bersama,” ia menambahkan. Sekarang total ada 20 petani yang bergabung bersama mereka. 

Dari sang guru yoga, Maya bisa memahami filosofi bertani dalam memberikan kebaikan. Bertani adalah budi daya, di mana kata budi artinya perilaku baik, sementara daya ialah kemampuan untuk memberikan manfaat. 

Sebenarnya dunia pertanian mengajarkan kita untuk menghasilkan kebaikan. “Petani menanam bibit terbaik, dirawat dengan cara terbaik, agar hasilnya juga baik. Ini membuka mata kita tentang dunia pertanian sejatinya, intisarinya,” tuturnya.

Leave a Comment

Your email address will not be published.

Start typing and press Enter to search