Mengubah Sampah Menjadi Berkah

AMILIA AGUSTIN

BANDUNG, JAWA BARAT

Para remaja bisa menumbuhkan kepedulian terhadap masalah sampah yang dimulai dari lingkungan sekolah.

KEPEDULIAN terhadap lingkungan sudah tumbuh sejak Amilia Agustin masih remaja. Saat itu, ia merasa miris melihat banyaknya timbunan sampah yang ada di Tempat Pembuangan Sampah Sementara Terpadu (TPST) Tegallega, Bandung, yang berdekatan dengan sekolahnya. Ia pun ingin melakukan suatu perubahan bersama teman-temannya untuk mencari solusi bagaimana agar bisa mengurangi terjadinya penumpukan sampah di TPST itu.

Ia dan teman-temannya berpikir bahwa sampah-sampah itu diambil dari masyarakat termasuk sekolah mereka. “Sampahnya itu kan dari kita, karena logikanya dekat saja dari sekolah ke tempat pembuangan sampah itu. Jadi kita pikir kenapa kita nggak bisa kelola sampahnya atau minimal kita mengurangi jumlah timbunan sampahnya,” tuturnya.

Karena tidak tahu bagaimana cara mengelola sampah, Ami dan kawan-kawannya itu pun minta masukan dari guru ekstrakurikuler sains club mereka yang bernama Ibu Nia. Mereka pun diperkenalkan dengan Yayasan Pengembangan Biosains dan Bioteknologi (YPBB) . “Akhirnya kita belajar waktu itu bikin kompos dan memilah-milah sampah. Kita mulailah campaign di sekolah bagaimana untuk membuat tempat sampah yang terpilah,” ujarnya.

Amilia Agustin, kerap kali mengisi acara tentang kepedulian terhadap sampah, mengurangi sampah dan memanfaatkannya.

Pada 2009, Ami bersama teman-temannya membuat program Go To Zero Waste School. Program ini dibagi dalam empat bidang pengelolaan sampah, yaitu pengelolaan sampah anorganik, pengelolaan sampah organik, pengelolaan sampah tetrapak, dan pengelolaan sampah kertas. Dari empat cara pengelolaan sampah itu, Ami dan komunitasnya bisa membuat tas dan pupuk kompos. Ami memulai karya perubahan ini pada usia sangat muda, 12 tahun, ketika masih duduk di kelas 2 SMP.

Ami lantas menuangkan program “Go to Zero Waste School” ini menjadi sebuah proposal Karya Ilmiah Remaja dalam acara Young Changemakers dari Ashoka Indonesia. Hasilnya, proposal dengan biaya operasional sebesar Rp 2,5 juta ini pun disetujui. Bahkan, program ini terus berkembang dan menjadi inspirasi bagi siswa-siswi sekolah lain di Bandung.

Tapi, dengan semangat dan niat tulusnya untuk membuat perubahan terhadap lingkungan, ia terus melanjutkan programnya itu.

“Apa yang saya dan teman-teman lakukan itu sama sekali tidak mudah. Karena, sebelumnya kami juga tidak tahu bagaimana cara mengolah sampah. Apalagi dalam pelaksanaannya, kami sempat diejek temanteman lain hingga membuat kami nyaris menyerah,” ucapnya.

Tapi, dengan semangat dan niat tulusnya untuk membuat perubahan terhadap lingkungan, ia terus melanjutkan programnya itu. Keberhasilan Ami mengembangkan program Go To Zero Waste School ini justru membawa berkah baru. Pada 2010 lalu, ia menerima penghargaan SATU Indonesia Awards dari Astra karena kepeduliannya terhadap masalah sampah di sekolahnya. Waktu itu ia masih duduk di kelas 3 SMP Negeri 11, Bandung.

Hadiah yang diperolehnya dari penghargaan itu kemudian dipergunakan untuk membeli komputer di sekolah dan alat jahit portable untuk ibu-ibu di sekitar sekolah yang ekonominya menengah ke bawah. “Kami mengajarkan mereka cara mendaur ulang sampah, bekerja sama membuat produk dari sampah, membuat desain produk yang menarik para pembeli, dan menjajakannya di pameran serta online store, sehingga mereka bisa menabung untuk sekolah anak-anaknya,” ujar Ami.

Amilia Agustin, kerap kali dipanggil mengisi acara tentang semangatnya membuat perubahan lingkungan dengan mengurangi limbah sampah.

Pada 2014, Ami diterima kuliah di Universitas Udayana, Bali. Di kampusnya, ia juga tetap menyuarakan perubahan terhadap lingkungan. Ami membentuk komunitas peduli lingkungan bernama “Udayana Green Community”. Komunitas ini berkegiatan mengajar di banjar serta sejumlah SD dan SMP yang ada di Kota Denpasar. Mereka juga melatih warga di desadesa untuk melakukan pengolahan sampah terpadu, mengamalkan nilai Tri Hita Karana, menghormati Tuhan, manusia dan alam. Sampai akhirnya bekerja, Ami berada di divisi Corporate Social Responsibility (CSR) dan tetap tetap mengkampanyekan masalah lingkungan hingga saat ini.

2 Comments

  • Testymo
    4 years ago Reply

    This is really amazing! Aliquid ex ea commodi consequatur?

    • Mike Smythson
      4 years ago Reply

      Yes sure!
      Sed ut perspiciatis unde omnis iste natus sit voluptatem accusantium doloremque laudantium.

Leave a Comment

Your email address will not be published.

Start typing and press Enter to search